Ad Under Header
Parallax Ad

Karya Koreografer wanita asal Cigugur yang melegenda

Siapa yang menciptakan tari buyung?

Pertanyaan di atas mungkin tepat untuk mengawali narasi yang akan menemani wargi sarerea menjelang adzan magrib tiba. Di blog ini, kemarin saya membahas tentang sejarah burjo Kuningan dan nama asli gunung Ciremai. Nah, pada kesempatan ini, saya akan mengulas sebuah karya yang diciptakan oleh seorang koreografer wanita asal Cigugur yang melegenda. Bagaimana ulasannya, mari simak dan baca baik-baik. 
Kreasi wanita asal Cigugur yang melegenda
Gambar tari buyung
Para wargi saparakanca (Menyapa ala Mang Jaya), kreasi yang diciptakan oleh wanita asal Cigugur ini sebuah seni yang menitikberatkan pada keindahan gerak. Seni ini juga berkolaborasi dengan alat musik tradisional seperti gamelan dan kecapi. Perlu wargi ketahui, tari buyung biasanya ditampilkan pada saat upacara seren taun yang dilakukan setelah para petani memanen padi. Waktunya, dimulai dengan upacara peyambutan yaitu 18 Rayagung dan untuk acara puncaknya dilakukan pada 22 Rayagung yang ditandai dengan pembukaan padi. 
Upacara seren taun merupakan perkembangan dari upacara Nutu. Setelah Agama Jawa-Sunda atau AJS dideklarasikan oleh Pangeran Sadewa Alibassa Widjajaningrat yang dikenal dengan Kyai Madrais maka namanya dirubah menjadi seren taun.
Tari buyung diciptakan pada tahun 1969 oleh seorang koreografer wanita yaitu Ibu Emilia Djatikusumah yang merupakan istri dari Pangeran Djatikusumah. Semua karya yang dibuatnya selalu memiliki makna filosofi yang mendalam, tak terkecuali tari buyung. Dari mulai setiap gerakannnya yang lembut nan indah dan lagu yang mengiringinya tak terlepas dari pesan-pesan kemanausiaan. Apalagi disaat para penari melakukan gerakan jala sutra. Selendang yang berwarna cantik itu akan dikait-kaitkan oleh para penari yang kemudian membentuk sebuah jala. Setelah terbentuk, selendang itu akan diayun-ayunkan oleh para penari sehingga menghasilkan sebuah gerakan yang seirama. Gerakan jala ini memiliki arti saling memberi dan saling mengisi. 
Tari buyung adalah budaya yang menjadi kebanggaan kabupaten Kuningan. Kita, selaku anak muda harus melestarikannya dan mempertahankan budaya ini agar tetap utuh di tengah gemuruhnya teknologi. Semua gerakan dari tarian ini menceritakan kehidupan sehari-hari gadis desa Cigugur. Dimana, dulu, anak-anak gadis turun mandi dan membawa air untuk dibawa pulang menggunakan buyung di pancuran Ciereng. Dari tari buyung inilah kita bisa melihat bagaimana keseharian kembang-kembang desa zaman dulu. Sehingga tari buyung memiliki keunikannya tersendiri yang dapat membuat para wisatawan terpukau tatkala melihatnya. 

Di lansir dari langitperempuan, tarian ini merupakan upaya untuk menerobos sekat-sekat diskriminasi dan refresifitas dari pemerintah melalui budaya, tepatnya melalui kesenian yang berusaha menghidupkan kembali ajaran dan budaya Karuhun Sunda. Ibu Emalia Djatikusumah memanfaatkan kemampuannya untuk menjadikan tari buyung sebagai lahan penanaman sebuah rasa cinta terhadap kecintaan penghayat atas ajaran leluhurnya. Hasil kerativitas inilah ia kerap diundang di forum-forum nasional bahkan internasional.

Upaya pelestarian tari buyung di Cigugur

Sebagai bentuk upaya mempertahankan eksistensi tari buyung di tengah merebaknya zaman teknologi ini. Tari buyung dipentaskan setahun sekali pada saat upacara adat seren taun dan upacara ini  merupakan bentuk syukuran bagi masyarakat agraris. Ribuan masyarakat dari berbagai sudut desa dan penjuru dunia ikut meramaikan pagelaran ini. Berbagai merek dan warna kamera tak ketinggalan demi mengabadikan momen yang paling menakjubkan ini. 

Hal ini memang penting dalam menjaga keutuhan budaya terkhusus di kabupaten Kuningan sendiri. Sebuah seni tari yang menjadi ikon Kuningan jangan sampai pudar ditelan zaman. Pagelaran seni budaya yang dipentaskan di ruang terbuka dapat menarik daya kritis anak-anak yang masih belia dengan cara bertanya "Mah, itu apa". Sekilas memang nampak seperti biasa-biasa saja akan tetapi bagi anak ketika mendapatkan informasi terbaru biasanya mereka akan menyebar-luaskannya pada saat bermain. 

Seperti tradisi kemprongan di desa Sidaraja yang hampir kurang lebih 70 tahun tidak lagi ditampilkan. Hal ini karena kurangnya daya minat anak muda sehingga tradisi ini mudah hilang begitu saja. Setelah menghilang tanpa jejak tradisi ini kembali lagi menjadi penghibur masyarakat disetiap pagelaran. Jangan sampai teknologi mengubur budaya Indonesia terkhusus di kota kuda. Kita harus lebih giat lagi mensosialisasikan dan melestarikan melalui pembelajaran-pembelajaran di sekolahan. 

Rapih winangun kerta raharja

Posting Komentar