Gambar Illustrasi (Foto: Dewimag.com) |
Rambut panjang terayun-ayun semilir. Kedua bola matanya menatap redup semesta. "Apakah aku terlahir untuk disakiti?". Gumamnya. Kemudian ia melangkah mendekati pohon kelapa. Duduk termangu, menerka-nerka "Kurasa tidak, Alang". Seberkas sinar yang terpatri dari wajahnya tak pernah menjadi penerang dalam hidupnya. Ia ingin hidup sebagaimana wanita lainnya. Menari mengikuti irama tanpa pernah ingin dianggap "Pemuas birahi". Mengharap cinta yang memang datang membawa hati bukan harta yang katanya dapat membahagiakan di masa depan nanti.
Terkadang, rasa iri dari wanita lain mengganggu kehidupannya. Mereka menggunakan segala cara untuk membuatnya menjadi buruk rupa-agar entah apa maksud dari segelintir wanita itu. Merebut kecantikan yang tidak mungkin atau menjadikan satu-satunya yang cantik di muka bumi. Entah! Hatinya tak pernah lagi seindah senja- semenjak ia menginjak usia dewasa. Senyumnya kaku, sapanya bisu. Ia hanya mampu bersembunyi di balik kegelisahannya- menganggap semua luka seolah tidak merasakan apa-apa.
Begitu jerit hati kecil wanita. Tulisan ini akan mengulas kisah seorang gadis yang berada di antara mitos dan fakta. Dan bukan untuk membuktikan 'Apakah benar adanya' atau 'Hanyalah sebuah mitos masyarakat belaka'. Tidak. Ini adalah sederet kisah tentang hati yang kian tersakiti. Diperintah sabar tanpa tahu apa artinya. Dipaksa menerima yang dirinya sendiri selalu bertanya-tanya "Apa!".
Nyi Ratna Herang
Dahulu kala ada seorang ronggeng atau penari di desa Ciherang kabupaten Kuningan yang cantik jelita. Hidung, mata dan bibir di tata Tuhan sedemikian indahnya. Matanya yang bulat dan tajam bak mata elang mampu menarik perhatian kaum Adam. Kulitnya putih, tubuhnya semampai nyaris sempurna. Ayunan tangan dan tubuhnya mendayu-dayu-mengikuti irama nada yang dimainkan tenang. Di dalam potret tahun 1920-an, menjadi kembang desa dan ronggeng tersohor, kala itu.
Ia menjadi pemikat tamu undangan di setiap pesta perayaan. Panggung demi panggung ia jajaki menemani nada di tengah sunyi. Siapa yang tidak ingin memilikinya menjadi tambatan hati?. Di usianya yang masih belia, 19 tahun, ia mampu menarik hati semua laki-laki yang memiliki wibawa; para pejabat, orang kaya dan para jawara sekalipun. Bahkan tidak hanya kaum adam, para wanita pun banyak yang nge-fans atau menaruh rasa kagum karena cantik dan kelihaiannya dalam menari.
Geulis kawanti-wanti endah kabina-bina peribahasa yang tepat untuk disematkan padanya. Namun, pandangan negatif dari masyarakat kerap menjadi benalu dalam hidupnya. Dimana seorang "Ronggeng" dianggap wanita yang murahan, mudah diajak kencan oleh laki-laki manapun. Stigma inilah yang membuat dirinya membawa luka ke dalam senyumnya. Mereka (Ronggeng) bukan wanita murahan. Nyi Ratna hanya bertahan hidup melalui bakat yang dimilikinya.
Suatu ketika ada dua orang jawara yang mabuk kepayang kepada Nyi Ratna. Mereka bertarung cukup sengit hanya untuk mendapatkan hati seorang Nyi Ratna. Dalam pertarungan yang cukup sengit itu memiliki misi "Siapa yang menang ia berhak mendapatkan Nyi ratna". Semua kekuatan para jawara itu dikeluarkan nyaris sempurna tapi tidak ada yang tersungkur. Mereka sama-sama kuat. Hingga pada akhirnya, pertarungan yang sengit itu, secara tidak sengaja melukai Nyi Ratna.
Luka yang diderita Nyi Ratna sangat parah ia tidak mampu lagi melanjutkan hidup hari esok. Setelah beberapa saat kemudian, sebelum napas Nyi Ratna menghilang, ia berkata bahwa setelah ia mati tidak akan ada anak wanita secantik dirinya sampai 19 tahun lamanya. Tanpa alasan yang jelas, jasad Nyi Ratna dihanyutkan begitu saja ke sungai Cigede. Namun beberapa hari kemudian jasadnya ditemukan sudah membusuk dan dikuburkan didekat dimana ia ditemukan.
Perkataan Nyi Ratna sebelum menghembuskan napas terakhir, membuat warga Ciherang porak-poranda ketakutan. Wanita-wanita yang baru melahirkan, pindah ke tempat saudaranya yang berada di luar desa Ciherang.
Posting Komentar