Gn. Ciremai pada tahun 1920-1933. Di ambil oleh seorang fotografer Georg Friedrich Johannes. Sebuah foto koleksi tropenmuseum. |
Mungkin kita mengenal Ciremai hanya sebatas gunung tertinggi di Jawa Barat. Mungkin kita hanya mengenal gunung yang sering didaki oleh manusia dengan puncaknya yang tersebar seantero dunia maya. Apakah kita hanya mengenal gunung ciremai demikian? Apakah kita harus menjaganya dengan cara mengabadikannya di sosial media lalu kemudian ditambah dengan caption penuh kosa-kata. Tidak begitu, Alang!
Gunung adalah satu-satunya artefak yang masih berdiri kokoh sampai sekarang. Merekam semua aktifitas umat manusia dari zaman ke zaman. Bahkan, kekayaannya turut ikut serta membangun dinamika kehidupan masyarakat dari generasi ke generasi. Tidak hanya paku alam, gunung pun merupakan atap bagi sebagian hewan yang berteduh di bawahnya. Bagi manusia; gunung adalah penghasil ceruk bisnis dan makanan.
Di bawah adalah sebuah kisah perjalanan para kiai di puncak gunung Ciremai
Gunung Ciremai menjadi saksi perjuangan umat Islam di Nusantara
Di samping terus melakukan penindasan-penindasan oleh pihak kolonial Belanda kepada masyarakat Indonesia, pihak Belanda juga melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat dalam rangka meredam gejolak aksi perlawanan yang salah satunya menjalankan 'politik etis' yang diharapkan mampu meredam gejolak perlawanan dan menarik perhatian/simpati rakyat dan umat Islam. Upaya tersebut adalah dengan membangun di dua bidang yaitu; bidang pendidikan dan agama.
Rupanya bentuk rekayasa, rekacara dan rekadaya oleh kolonial Belanda dapat dipahami alurnya oleh para kiai dan ulama kala itu. Meskipun pihak kolonial telah membangun sarana ibadah dan sekolah-sekolah akan tetapi para kiai tetap konsisten dengan apa yang telah dipilihnya yakni bersikap final non-cooverative atau tidak mau bekerjasama dengan pihak kolonial Belanda adalah titik akhir. Hal ini tercermin dari hasil rumusan yang dilakukan oleh para kiai yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur; KH Abdul Jamil, Kiai Shaleh Banda, Kiai Sholeh Darat dan Kiai Said Gedongan.
Pertemuan ini disinisiasi oleh KH Abdul Jamil yang merupakan Ayahanda Kiai Abbas Buntet Pesantren. Bersama dengan keempat kiai lainnya mereka berjalan menuju puncak ciremai untuk membicarakan perkara penting kala itu. Hasil dari bahstul masa'il atau musyawarah yang bertempat di puncak gunung Ciremai menghasilkan sebuah fatwa yang dimaksudkan untuk mengantisipasi segala bentuk imperialisme dari Belanda. Di namakan 'fatwa ciremai' karena lokasi musyawarahnya berada di puncak gunung ciremai. Sikap final para kiai bisa kita lihat dari hasil musyawarahnya.
Fatwa ciremai ini dimaksudkan untuk mengantisipasi dari segala bentuk imperialisme yang dilakukan oleh pihak Belanda. Di antara isinya yaitu mengharamkan umat islam menjadi pegawai dan meniru pakaian orang-orang Belanda.
Rupanya, pertemuan itu terendus oleh pihak kolonial, mereka takut akan dampak bahaya terhadap kewibawaan pemerintahannya. Tak berselang lama, mereka buru-buru mengambil tindakan untuk para kiai yang melakukan peretemuan di puncak ciremai tersebut. Para kiai ditangkap dan dijatuhi hukuman kerja paksa membetulkan jalan-jalan yang disaksikan oleh masyarakat.
Tak dinyana, hukuman kerja paksa yang dijatuhkan oleh pihak Belanda kepada para kiai, tanpa ada sebab-akibat bangunan-bangunan yang telah berdiri sebelumnya roboh seketika dengan kehendak Allah.
Posting Komentar