Siti Fatimah, pejuang wanita yang pernah
menjadi mata-mata di zaman penjajahan
Belanda. Asal Desa Lebakherang, Kec. Ciwaru
Kab. Kuningan.
Kini, ia tinggal di kota Bandung.
(Foto: Tribunnews.com)
|
Sekilas tentang penjajahan Belanda di kabupaten Kuningan
Pengkhianatan Belanda setelah perundingan Linggarjati membuat masyarakat kabupaten Kuningan sadar akan pentingnya mempertahankan tanah kelahiran dan kemerdekaan Indonesia. Kala itu, gemuruh untuk mengusir penjajah Belanda terjadi di dada masyarakat desa Ciwaru.
Nampaknya penjajah Belanda belum puas terhadap cakupan wilayah dan menginginkan semua tempat bekas jajahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1947, Belanda kembali melakukan agresi militer I ke wilayah republik Indonesia yang melibatkan 3 matra sekaligus; Darat, laut dan udara. Untuk wilayah Jawa Barat, Serangan Belanda ke wilayah Keresidenan Cirebon dimulai dengan kekuatan 2 batalyon artileri medan, 1 skuadron tank, 1 skuadron panser, 1 kompi zeni lapangan dan kesatuan bantuan lainnya (Soetanto, 2007).
Akibat dari agresi militer I yang dilakukan oleh penjajah Belanda. Pihak dari keresidenan Cirebon memutuskan untuk pindah sementara atau mengungsi. Dipilihlah daerah pedalaman yang berada di kabupaten Kuningan, tepatnya di desa Ciwaru. Pihak keresidenan Cirebon memiliki alasan yang jelas, sebab kabupaten Kuningan masih banyak belantara, yang memungkinkan Belanda akan kesulitan masuk ke daerah tersebut.
Perpindahan tempat tersebut terjadi pada tanggal 25 Juli 1947. Namun, selang 2 hari, pasukan Infantri Belanda menyerang dengan kekuatan berat dan kekuatan Zeni. Melihat dari kekuatan Belanda yang besar, maka strategi perang pun diubah. Pasukan Siliwangi melakukan Gerilya di malam hari. Sebab, pihak Belanda tidak mengetahui secara detail lokasi-lokasi di kabupaten Kuningan. Maka, hal ini pun dimanfaatkan oleh pihak Siliwangi. Strategi gerilya ini merupakan strategi yang berkolaborasi dengan masyarakat.
Masyarakat biasa lebih sering bergaul dan dekat dengan Belanda. Pun pihak Belanda tidak memandang masyarakat biasa sebagai ancaman. Seperti yang diungkapkan Jenderal A.H. Nasution (1984):
…Gerilya dapat melakukan tugasnya karena rakyat menjadi “jawatan-jawatan dan senjata-senjata bantuannya”. Dengan bantuan rakyat dapatlah ia selalu memperoleh keterangan-keterangan mengenai musuh, mengenai dislokasi, gerakan-gerakan, kekuatan-kekuatan dan lain-lain. Karena rakyat berada di sekeliling musuh dan rakyat juga bergaul dengan musuh-musuh. Dengan bantuan rakyat yang bersimpati rasanya terbukalah pintu sampai ke markas-markas dan tempat-tempat tidur musuh.
Siti Fatimah, Mata-mata di masa penjajahan Belanda
Siti Fatimah, pejuang wanita yang berani dan tangguh ini pada masa penjajahan Belanda di kabupaten Kuningan pernah menjadi mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Belanda.
Peran menjadi mata-mata sangatlah berat. Namun ia tidak pernah mengikuti latihan yang serius. Tugas ini dilakukan langsung praktik. Selain memantau kekuatan Belanda, ia pun ditugasi sebagai pembawa pesan untuk para pejuang dan gerilyawan.
Siti Fatimah tidak sendiri, ia menjadi mata-mata bersama dengan kedua rekannya; Hudaya dan Jumat. Namun kedua temannya mengalami nasib yang buruk. Mereka diketahui oleh pihak Belanda dan berusaha kabur tapi tembakan otomatis Belanda mampu menancap disekujur tubuh mereka.
Ia memiliki keunikan tersendiri untuk melaksanakan tugasnya. Jika tugasnya mengantarkan pesan, ia menyembunyikannya di dalam sepatu. Mengingat usianya yang masih belia ia tidak mudah terendus oleh pihak Belanda.
Ketika berangkat untuk melaksanakan tugasnya sebagai mata-mata. Ia berjalan beriringan dengan para pedagang sayur. Meskipun Belanda tengah berpatroli, ia selalu dibela oleh pedagang sayur sebagai anaknya.
Posting Komentar