Dua tahun terakhir, kabupaten Kuningan mengalami peristiwa-peristiwa yang menyesakkan dada. Mulai dari kasus bunuh diri, kebakaran gunung Ciremai dan sekarang merebaknya virus corona yang semakin menyiksa rasa. Tidak hanya dua tahun terakhir, pada tahun 2017 adalah awal kisah dari banjir yang melanda sebagian Kecamatan Cibingbin. Tahun itu merupakan sejarah yang tidak akan terlupakan oleh masyarakat kabupaten Kuningan terutama warga Cibingbin. Entah apa yang menjadi sebab, soalnya semua pihak saling angkat tangan tidak mengakui kesalahan. Karena terdesak, alam lah yang harus bertanggung jawab--semua menyalahkan alam, alam dan alam.
Hari ini masyarakat tengah dilanda penat yang melekat. Aktivitas diluar rumah dilarang, akibatnya pemasukan para pedagang kian jarang. Berpikir bagaimana bisa makan disalurkan ke dalam sebuah egoisme yang mendalam, karena kurangnya bantuan. Masyarakat yang tetap keluar rumah ditengah PSBB banyak yang menyinggung 'Ngeyel'. Bukan Pak! mereka keluar rumah ditengah PSBB memikirkan bagaimana anaknya bisa makan. Mereka juga tidak ingin terkena virus corona tapi jika lapar melanda bagaimana?.
Ah, kurasa tahun ini kabupaten Kuningan tidak sedang baik-baik saja. Ku rasa juga masyarakat membutuhkan udara segar seperti dulu. Dimana tidak ada porak-poranda dan ingar-bingar yang mengirim lara. Jika saja ada mesin waktu, aku ingin kembali ke masa lalu--menikmati hidup penuh ketenangan dan kedamaian.
Aku tertarik dengan cerita Kuningan di masa lalu, tentang sebuah tempat yang selalu ramai dikunjungi khalayak. Katanya, dulu, tempat itu digunakan oleh muda-mudi untuk beradu tali cinta. Sepertinya indah tapi sayangnya aku hanya bisa menikmati melalui cerita saja.
Ah, kurasa tahun ini kabupaten Kuningan tidak sedang baik-baik saja. Ku rasa juga masyarakat membutuhkan udara segar seperti dulu. Dimana tidak ada porak-poranda dan ingar-bingar yang mengirim lara. Jika saja ada mesin waktu, aku ingin kembali ke masa lalu--menikmati hidup penuh ketenangan dan kedamaian.
Aku tertarik dengan cerita Kuningan di masa lalu, tentang sebuah tempat yang selalu ramai dikunjungi khalayak. Katanya, dulu, tempat itu digunakan oleh muda-mudi untuk beradu tali cinta. Sepertinya indah tapi sayangnya aku hanya bisa menikmati melalui cerita saja.
Menyelami tempat merindu melalui cerita masa lalu
Aku mendapatkan cerita ini dari Abah Isak dan dari potongan-potongan komentar di sosial media. Ku padu-padan hingga terciptalah sebuah cerita yang utuh.
Dulu, kata Abah Isak. Plaza adalah tempat Abah bertemu dengan seorang wanita yang pernah menjadi bagian terindah dalam hidup Abah. Rambutnya terurai panjang tapi bukan kuntilanak. Kata Abah Isak sembari tertawa. Lantas dia melanjutkan, kamu mana bisa merasakan indahnya pusat kota Kuningan di zaman dulu. Bagaimana udara sejuk meski di tengah kota bisa kita nikmati tanpa harus pergi ke daerah yang tinggi.
Udara sayup-sayup merayap semakin menambah betah dan rasa bangga hidup dan lahir di kota kuda. Semua serba asri tanpa adanya polusi ditengah matahari. Masih jarang sekali kendaraan mobil dan motor, yang ada hanya banyaknya delman berjajar di sepanjang jalan. Banyak masyarakat Kuningan yang bersenandung ria di dekat Plaza Kuningan.
Apalagi, ketika ada sebuah film baru yang akan tayang di Bioskop Plaza Kuningan. Orang-orang berduyun-duyun berdatangan dari berbagai pelosok desa; tua, remaja, laki-laki, wanita, jomblo, berpasangan dan muda mengantri di loket pembelian tiket bioskop tersebut. Hanya untuk sekadar menonton film kesukaannya masyarakat tumpah-ruah memenuhi ruang pusat kota Kuningan.
Di dekat Plaza Kuningan juga ada tempat permainan ding-dong, tempat bermain billyard, tempat jualan poster pemain sepak bola dan tempat makanan. Hal yang sekarang tidak ada adalah tempat permainan ding-dong. Dulu, anak-anak antusias sekali tatkala diajak jalan-jalan ke pusat kota Kuningan pasti mereka akan ngajak bermain ding-dong. Kuliner yang bertahan sampai sekarang ini adalah hucap atau kupat tahunya Ma Iroh. Kalau dulu tempat hucap Ma Iroh itu berada di dekat Plaza Kuningan tapi setelah Plaza Kuningan dirobohkan, tempatnya pindah ke jalan Dewi Sartika sampai sekarang.
Malam Minggu adalah puncaknya ramai. Kata Abah Isak menatap kosong. Banyak anak muda berkerumun; ada yang saling bergenggaman, ada yang sibuk dengan cerita temannya dan ada juga sebagian laki-laki yang sibuk mencari bunga mawarnya di pelataran halaman Plaza. Mereka memakai celana model cutbray dengan kemeja bertangan pendek bermotif kotak-kotak. Lantas bajunya dimasukkan ke dalam celana. Rapi! Sebagian lagi ada yang model rambutnya belah dua tampak lurus dari sisi, dari depan terlihat potongan rambut itu memiliki ruang.
Baca Juga:
Curhatan mahasiswa Yogya tentang pedagang Burjo
Para wanita saling menatap, ada yang saling erat menggenggam. Rambut pirangnya berkolaborasi dengan cahaya bulan yang redup. Sesekali rambut itu berjuntai mengikuti arah angin yang tiba-tiba saja datang. Badannya ramping, modeling dan dirasa nyaris sempurna. "Dasar, zaman baheula!".
Namun sayang, hal itu tidak bisa kembali lagi kita rasakan. Plaza, ding-dong dan tempat komik dulu hanyalah menjadi untaian kata dalam cerita. Sekalipun ada pengganti ruang yang telah menjadi kenang, ke tempat lain--itu tidak memiliki rasa yang sama.
Di tengah pandemi yang entah kapan berlalu--Kuundang rindu ditengah benalu.
Apalagi, ketika ada sebuah film baru yang akan tayang di Bioskop Plaza Kuningan. Orang-orang berduyun-duyun berdatangan dari berbagai pelosok desa; tua, remaja, laki-laki, wanita, jomblo, berpasangan dan muda mengantri di loket pembelian tiket bioskop tersebut. Hanya untuk sekadar menonton film kesukaannya masyarakat tumpah-ruah memenuhi ruang pusat kota Kuningan.
Di dekat Plaza Kuningan juga ada tempat permainan ding-dong, tempat bermain billyard, tempat jualan poster pemain sepak bola dan tempat makanan. Hal yang sekarang tidak ada adalah tempat permainan ding-dong. Dulu, anak-anak antusias sekali tatkala diajak jalan-jalan ke pusat kota Kuningan pasti mereka akan ngajak bermain ding-dong. Kuliner yang bertahan sampai sekarang ini adalah hucap atau kupat tahunya Ma Iroh. Kalau dulu tempat hucap Ma Iroh itu berada di dekat Plaza Kuningan tapi setelah Plaza Kuningan dirobohkan, tempatnya pindah ke jalan Dewi Sartika sampai sekarang.
Malam Minggu adalah puncaknya ramai. Kata Abah Isak menatap kosong. Banyak anak muda berkerumun; ada yang saling bergenggaman, ada yang sibuk dengan cerita temannya dan ada juga sebagian laki-laki yang sibuk mencari bunga mawarnya di pelataran halaman Plaza. Mereka memakai celana model cutbray dengan kemeja bertangan pendek bermotif kotak-kotak. Lantas bajunya dimasukkan ke dalam celana. Rapi! Sebagian lagi ada yang model rambutnya belah dua tampak lurus dari sisi, dari depan terlihat potongan rambut itu memiliki ruang.
Baca Juga:
Curhatan mahasiswa Yogya tentang pedagang Burjo
Para wanita saling menatap, ada yang saling erat menggenggam. Rambut pirangnya berkolaborasi dengan cahaya bulan yang redup. Sesekali rambut itu berjuntai mengikuti arah angin yang tiba-tiba saja datang. Badannya ramping, modeling dan dirasa nyaris sempurna. "Dasar, zaman baheula!".
Namun sayang, hal itu tidak bisa kembali lagi kita rasakan. Plaza, ding-dong dan tempat komik dulu hanyalah menjadi untaian kata dalam cerita. Sekalipun ada pengganti ruang yang telah menjadi kenang, ke tempat lain--itu tidak memiliki rasa yang sama.
Di tengah pandemi yang entah kapan berlalu--Kuundang rindu ditengah benalu.
Jadi inget masa lalu, kelahiran tahun 84, smp & stm plasa masih aya tempat nongkrong kajeun bau hangseur sareng seueur preman malak ge, heuheu
BalasHapussebelum plaza itu tadinya sebuah pasar, dan terminal.
BalasHapuskangen zamannya almanar sebelum syarul islam.
Jarang main ke Kuningan plaza sih waktu itu mah takut loba preman na.tapi cukup tau aja
BalasHapusKenangan yg tak terlupakan dari bekas terminal hingga jd kuningan plaza hiks...hiks.. Tempat orangtua berdagang hingga dibongkarnya tahun 2004
BalasHapus