Bumi Kuningan telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar dalam pelbagai lini kehidupan: Edi S. Ekadjati adalah sejarawan, SN Ratmana adalah sastrawan, Ahmad Sukardja adalah guru besar dalam bidang piqih siyasah pun dikenal orang hukum dan Maudy Koesnaedy adalah aktris papan atas. Tentunya masih banyak lagi yang tidak dituliskan disini. Mereka adalah kaum buku. Orang-orang yang menyukai membaca dan menulis. Mungkin, bagi mereka, buku adalah candu sehingga tatkala hari-harinya tidak diisi dengan buku; mereka sakau.
Ketika ponsel pintar datang. Buku, kian memudar. "Kita (Anak muda) membaca melalui ponsel pintar ini". Celoteh anak muda zaman sekarang. Atau, "So pintar". Kata anak muda kepada anak muda yang gemar membaca buku. Saking jarang membaca buku—artikel yang memuat sejarah—mereka anggap hoax atau berita bohong. Ruwet, ruwet, ruwet memberitahu anak-anak muda yang keras kepala.
Foto: NU online |
Kembali. Ia lahir di kabupaten Kuningan Jawa Barat pada 13 Maret 1945. Tokoh yang lahir dua bulan sebelum Indonesia merdeka ini—selain dikenal sebagai politisi yang menyejukkan—ia juga dikenal sebagai motivator pergerakan mahasiswa. “Jika memiliki mimpi yang besar, masalah-masalah pun akan terlihat kecil. Begitu sebaliknya, jika memiliki mimpi yang kecil, masalah-masalah pun akan terlihat besar”. Begitu petuahnya yang banyak dikenal mahasiswa dan anak muda.
Kata-katanya tidak menggebu-gebu tetapi menyentuh. Dalam masa kepemimpinannya di PB PMII tahun 1977-1981, ia berhasil membawanya menjadi kelompok sosial kontrol yang kritis dan berani. Bahkan, ia dikenal tokoh yang paling berpengaruh dalam perjalanan PB PMII dari masa ke masa. Kita merindukan anak muda yang kritis dan berani, sekarang. Yang bukan pandai nyinyir di media sosial—sayangnya, jarang.
Dulu, Ahmad Bagdja pun turut diundang oleh Presiden Soeharto ketika kewalahan mengendalikan situasi dan kondisi politik di Indonesia. Bersama tokoh-tokoh dari kalangan ulama dan cendekiawan lainnya: Abdurrahman Wahid (PB NU), Emha Ainun Nazib (Budayawan), Dr. Nurcholish Madjid (Direktur yayasan Paramadina), KH. Ali Yafie (Ketua MUI), Prof. Malik Fajar dan Sutrisno Muhdam (Muhammadiyah), Prof. Yusril Ihza Mahendra (Guru besar Tata Negara UI dan staf di Mensesneg), KH. Cholil Baidlowi (Muslimin Indonesia), dan Ahmad Bagdja (Mendampingi Gus Dur dari rumah) dan Ma’ruf Amin (NU).
Ketika NU dibawah kepemimpinan Gus Dur, Ahmad meduduki Sekretaris Jenderal hingga tahun 1999. Sekali pun Gus Dur telah menjadi Presiden, rupanya, peran Ahmad ditubuh NU masih dibutuhkan. Karir politik Ahmad tidak berhenti disitu. Berkat keberanian dan wawasan yang dimiliki Ahmad, ia berperan aktif di organisasi massa terbesar yang ada di Indonesia.
Kita ketahui, sejak muda, Ahmad pernah menjadi Sekretaris Jenderal PMII, Ketua umum PMII, Wakil Sekretaris Jenderal PB NU, Sekretaris Jenderal PB NU hingga Dewan Anggota Pertimbangan (DPA). “Intonasi bicara Ahmad tertata baik dan tidak meledak-ledak…”. Begitu tulis buku Apa Siapa Orang Sunda. Sikapnya yang rendah hati dan lebih mementingkan akhlak membuat dirinya dicintai oleh masyarakat. “Dalam berpolitik, hendaklah didasari pada akhlaqul karimah, khususnya bagi para elite yang mengatasnamakan Islam”. Pesan Ahmad Bagdja.
Sebagai orang Sunda petuah bijak ‘Someah hade ka semah’ melekat dibenak Ahmad. Ketika Gus Dur dicalonkan oleh poros tengah, Ahmad pun ikut berkomentar, “Kita harus berbaik sangka. Politik punya logikanya sendiri, bahwa anggapan itu ya atau tidak dan apakah poros tengah itu serius”. Lantas ia pun melanjutkan, “Kita lihat. Hasilnya akan terlihat nanti. Salah satu ekspresi akhlaqul karimah adalah perbuatannya”. Lagi. Akhlaqul karimah adalah hal yang sering dikatakannya.
Ahmad Bagdja adalah politisi yang kurang menampilkan ‘siapa dirinya’ atau low profile ke publik. Sehingga tatkala Gus Dur menjadi presiden—ia, kembali dipercayai menduduki Sekretaris Jenderal. Bahkan naik satu tingkat. “Ini, boleh jadi karena pengalaman dan sifatnya yang ‘menyejukkan’ yang dibutuhkan oleh warga NU”. Begitu.
Posting Komentar