Beberapa waktu ke depan kita akan menyambut hari raya idul adha, dimana biasanya masjarakat akan melakukan "kurban" berupa hewan sapi dan kambing atau embe. Kurban tersebut dilakukan oleh masyarakat yang sudah mampu (Materi). Semoga idul adha tahun ini kita semua dimampukan untuk melakukan kurban. Amiiin.
Namun bagaimana jika di suatu tempat atau desa memiliki "Pantangan" jang melarang masjarakat oentoek memiliki atau beternak atau memakan daging kambing. Bahkan, menyebut "Embe" saja tidak diperbolehkan. Tradisi di desa Doekoehbadag ini sudah berjalan sejak zaman kerajaan--tapi untuk sekarang, biasanya, tradisi hilang begitu saja.
Sore itu, penulis hendak mencari koran-koran tempo dulu di sebuah layar 14 inci, laptop. Kemudian penulis menemukan koran berbahasa Belanda yang terbit tahun 90-an. Setelah ditelisik, sekitar lima belas menit lamanya--penulis, menemukan kolom yang berjudul "Legenda van den Tjeremai". Karena penasaran, penulis sesegera mungkin menulis ulang untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Kolom itu hanja berisi empat paragraf saja tetapi memuat empat ringkasan 'tjerita rakjat' kabupaten Koeningan. Kemudian, penulis memilah untuk didalami kembali. Bukan oentoek apa-apa. Penulis hanja ingin generasi anak moeda sekarang mengenal dan mengetahoei sedjarah, peristiwa dan boedaja-boedaja yang ada sejak doeloe khususnya yang ada di kabupaten Kuningan.
Kembali ke judul di atas. Pantangan di desa Dukuhbadag, Cibingbin, Kuningan ini berupa larangan bahwa masyarakat atau yang datang ke desa tersebut tidak boleh membawa, memakan dan menyebut hal-hal yang berbau kambing atau embe. Jika ada yang melanggar pantangan ini, maka akan datang malapetaka kepada orang yang membawanya maupun kepada semua warga desa Dukuhbadag.
Rupanya, pantangan ini telah ada sedjak zaman kerajaan, jauh sebelum cerita ini ditulis di koran Belanda. Peristiwa ini bermula ketika ada dua bushcoopers eropa melakukan pesta di desa Dukuhbadag. Musik, makanan dan minuman tersaji melengkapi pesta yang digelar kala itu. Kita juga mungkin pernah merasa "Kehambaran" disaat mayoran tidak ada daging ayam, kambing atau jenis lainnya. Mereka pun sama. Maka untuk menambah kemewahan pesta malam itu disembelihlah dua ekor kambing untuk melengkapi pesta tersebut.
Ke lima jari lentik ronggeng mendayu mengikuti irama musik di pesta itu. Satu-dua orang eropa diajak menari dengan cara mengaitkan selendang lembut penari ke leher orang eropa. Di selimuti malam yang dingin--di tengah belantara--pesta membuang jauh "pantangan" yang telah ada sedjak zaman dulu. Setelah pesta usai, dua orang pengawas hutan tiba-tiba menjadi gila. Peristiwa ini terdengar oleh pewarta Belanda. Lalu kemudian para pewarta itu mengonfirmasi kejadian ini kepada kepala desa Dukuhbadag. Dan, ternyata "Benar".
Awal mula "Pantangan" ini terjadi di desa Dukuhbadag
Menurut buku Sejarah Desa Dukuhbadag pantangan ini bermula ketika seorang senopati bernama Raden Kunceng Manglayang berubah wujud menjadi seekor makhluk berkepala kambing dan bertubuh harimau.
Senopati itu sangat mencintai kedamaian. Ia tidak menyukai pertikaian yang dapat menyebabkan pertumpahan darah. "Kalah jadi abu, menang jadi arang". Memang benar. Tidak ada yang menguntungkan dari pertikaian, perkelahian, perang dan tawuran. Sekalipun menang tetap rugi. Apalagi, kalah. Tidak hanya itu, sifatnya yang berbudi luhur memiliki welas asih terhadap semua hal-hal yang dapat merugikan, melukai dan menyakiti yang ada di muka bumi terkhusus di desa Dukuhbadag sendiri--membuatnya harus melakukan cara untuk menghentikan itu semua.
Atas dasar inilah, Raden Kunceng Manglayang harus menjauhi sejenak hiruk-pikuk untuk mendapatkan "Pencerahan" dan "Petunjuk jalan" demi semata-mata menyelesaikan semua hal-hal yang berbau "Perseteruan". Kemudian ia pergi ke sebuah tempat yang dikiranya tenang untuk melakukan semedi. Setelah berhari-hari berjalan menyusuri jalan setapak tibalah ia di sebuah mata air yang muncul dari akar pohon binbing.
Mujasmedi pertama tidak memuaskan. Berangkat dari ketidakpuasan ini ia melanjutkan perjalanan hingga sampailah ke sebuah rumah gubuk (Dangau) tempat kediaman Aki Dukuh. Kemudian ia menceritakan maksud dan niatnya. Aki Dukuh memberitahu bahwa di sekitar rumahnya terdapat sebuah pohon berbentuk seperti manusia yang tengah duduk. Mendengar hal ini, ia tertarik untuk berkunjung ke pohon Kiara Padung dan melakukan semedi.
Atas izin Ki Doekoeh, senopati itu berangkat menuju pohon Kiara Padung dan melakukan semedi di bawah pohon tersebut. Dalam semedinya ia berubah menjadi hewan berkepala kambing dan berbadan harimau yang bisa berbicara. Kemudian ia dijuluki Prabu Wedus Kala Dusta Kalana. "Salila kula aya didieu, teu dibeunangan miara sato nu sarua jeung kula". Kata senopati yang telah berubah wujud itu. Kemudian ia melanjutkan, "Isuk jaganing geto, lamun didieu jadi lembur ulah aya nu ngingu sato anu sarua jeung kula". Begitu.
Posting Komentar