Pagi itu, anak-anak tengah sibuk dengan tugas rumahnya masing-masing. Ada yang membersihkan halaman rumah, membersihkan kebun di belakang rumah, membersihkan di ruang rumah, menjajakan tempe dan menumbuk kopi menggunakan halu (Batu panjang atau kayu). Sementara Ayah, sibuk menyiapkan sarapan buat kambing yang berada di bawah rumah. Rumah zaman dulu memang memiliki ruang bawah atau lebih dikenal dengan sebutan "Rumah panggung".
Sebelum matahari terbit, Ibu pergi ke pasar untuk membeli rempah-rempah dan sayur yang akan dijadikan makan pagi. Kangkung, ikan asin peda, satu paket sambal berikut lalap, dan biji kopi pesanan Ayah. Sebelum ibu datang dari pasar, Ayah telah menyiapkan kayu bakar sekaligus memasak air di hawu. Aktivitas ini terus terulang sampai semua anak-anaknya memisahkan diri--membangun rumah tangga.
Terkadang jika tidak ada uang. Hasil dari kebun: Singkong, ubi dan kacang-kacangan. Di tambah dengan lalap daun singkong, daun pepaya dan pelending (Petai kecil) menjadi makanan pokok penambah energi untuk mengisi aktivitas sehari-hari. Air teh hangat menjadi minuman teristimewa kala itu.
Begitu cerita paman saya setelah menyeruput kopi tutu.
Kopi tutu bukanlah sebuah merk produk minuman kopi, melainkan kopi yang dinamai dari proses pengolahannya dengan cara ditumbuk atau dalam bahasa sunda ditutu. Kopi tutu tidak selembut kopi yang ada di kemasan plastik. Sekalipun harus disaring, kopi tutu tidak sepenuhnya lembut ketika kita minum. Kata orang-orang zaman dulu, lebih nikmat kopi tutu ketimbang kopi yang ada dalam kemasan. Namun, iklan dikemas dengan menarik, agar orang yang membaca dan melihat tertarik. Jargon "Jelas lebih enak" bukan sebab kenapa masyarakat membeli, melainkan kata "enak" yang diturunkan melalui mulut ke mulut, katanya.
Begitu cerita paman saya setelah menyeruput kopi tutu.
Foto: Cookpad.com |
Proses pembuatan bubuk kopi dengan cara ditutu lambat laun memudar setelah ditemukannya mesin penggiling kopi bernama Mortar dan Pestle. Menggunakan mesin serupa, bubuk kopi mulai dijajakan dalam bentuk kemasan yang kemudian diperjualbelikan. Memang, menumbuk kopi menggunakan alat tradisional sedikit merepotkan, sehingga masyarakat lebih memilih yang instan, dan disetiap merk kopi dalam kemasan terdapat kata "Kopi siap saji". Kalau pun tidak ada kata tersebut, masyarakat sudah tahu, ya, begitulah iklan.
Kopi tutu sebagian besar dinikmati masyarakat pedesaan; yang tidak memiliki alat canggih, yang jauh dari kedai kopi atau yang tidak punya uang untuk membeli segelas kopi di kedai. Uang lebih baik digunakan untuk membeli beras, ketimbang secangkir kopi yang hanya bisa dinikmati satu orang. Lagian, secangkir kopi tidak mengenyangkan, lebih baik beras. Orang-orang dulu selalu mementingkan hal-hal yang penting dalam artian "perut".
Dalam perjalanannya di Indonesia, kopi, dimulai sejak abad ke 4 atau sekitar tahun 1696. Melalui pemerintahan Belanda, India mengirim bibit kopi yemen ke Indonesia. Di waktu yang sama, di Jakarta (Batavia), bibit kopi yemen gagal dipanen karena banjir. India kembali mengirim bibit kopi ke pemerintah Belanda. Di pengiriman kedua kali ini, bibit kopi berhasil dipanen. Keberhasilan ini membuat Indonesia dikenal penghasil kopi terbesar setelah Arab dan India.
Di Kuningan sendiri, kopi sudah dimulai sejak abad ke 18. Bermula, ketika pemerintah Belanda menanamkan sistem kerja paksa di tatar Pasundan. Tujuannya untuk mengekspor biji kopi ke eropa. Sistem kerja paksa inilah yang kemudian pemerintah kolonial membuka lahan selebar-lebarnya hingga sampailah ke daerah Kuningan. Menurut catatan Junghuhn, di gunung Ciremai terdapat beberapa pohon kopi tapi dirinya tidak menyebutkan secara rinci mengenai kopi dan pabrik kopi di sekitar Ciremai. Menurut surat kabar harian "Java Bode", pada tahun 1853, kebun kopi yang ada di Kuningan menghasilkan kopi sebanyak 10.000 pikul pertahun.
Tahun 2000-an, anak-anak muda Kuningan memiliki cara tersendiri menikmati kopi. Setelah tumbuh-suburnya kedai kopi di Kuningan, anak-anak muda mulai lelap menikmati secangkir kopi. Mereka menjadikan minum kopi sebagai gaya hidup yang kekinian. Dekade berikutnya, kedai kopi di Kuningan tumbuh bak jamur. Di tambah dengan hadirnya teknologi, minum kopi di kedai diekspresikan melalui media sosial. Biasanya, ditambah dengan kata-kata mengikuti artis-artis sosial media.
Jenis apapun kopi, memiliki momen tertentu dimasanya.
Kopi tutu sebagian besar dinikmati masyarakat pedesaan; yang tidak memiliki alat canggih, yang jauh dari kedai kopi atau yang tidak punya uang untuk membeli segelas kopi di kedai. Uang lebih baik digunakan untuk membeli beras, ketimbang secangkir kopi yang hanya bisa dinikmati satu orang. Lagian, secangkir kopi tidak mengenyangkan, lebih baik beras. Orang-orang dulu selalu mementingkan hal-hal yang penting dalam artian "perut".
Dalam perjalanannya di Indonesia, kopi, dimulai sejak abad ke 4 atau sekitar tahun 1696. Melalui pemerintahan Belanda, India mengirim bibit kopi yemen ke Indonesia. Di waktu yang sama, di Jakarta (Batavia), bibit kopi yemen gagal dipanen karena banjir. India kembali mengirim bibit kopi ke pemerintah Belanda. Di pengiriman kedua kali ini, bibit kopi berhasil dipanen. Keberhasilan ini membuat Indonesia dikenal penghasil kopi terbesar setelah Arab dan India.
Di Kuningan sendiri, kopi sudah dimulai sejak abad ke 18. Bermula, ketika pemerintah Belanda menanamkan sistem kerja paksa di tatar Pasundan. Tujuannya untuk mengekspor biji kopi ke eropa. Sistem kerja paksa inilah yang kemudian pemerintah kolonial membuka lahan selebar-lebarnya hingga sampailah ke daerah Kuningan. Menurut catatan Junghuhn, di gunung Ciremai terdapat beberapa pohon kopi tapi dirinya tidak menyebutkan secara rinci mengenai kopi dan pabrik kopi di sekitar Ciremai. Menurut surat kabar harian "Java Bode", pada tahun 1853, kebun kopi yang ada di Kuningan menghasilkan kopi sebanyak 10.000 pikul pertahun.
Tahun 2000-an, anak-anak muda Kuningan memiliki cara tersendiri menikmati kopi. Setelah tumbuh-suburnya kedai kopi di Kuningan, anak-anak muda mulai lelap menikmati secangkir kopi. Mereka menjadikan minum kopi sebagai gaya hidup yang kekinian. Dekade berikutnya, kedai kopi di Kuningan tumbuh bak jamur. Di tambah dengan hadirnya teknologi, minum kopi di kedai diekspresikan melalui media sosial. Biasanya, ditambah dengan kata-kata mengikuti artis-artis sosial media.
Jenis apapun kopi, memiliki momen tertentu dimasanya.
Posting Komentar