Tempo hari penulis membaca buku karya M. Ngalim Purwanto, MP yang berjudul ILMU PENDIDIKAN: TEORETIS DAN PRAKTIS. Di halaman PRAKATA, M. Ngalim berkata, "Mudah-mudahan buku ini ada manfaatnya, terutama bagi para mahasiswa IKIP yang sedang mengikuti mata kuliah dasar kependidikan (MKDK)...". Kalau saja dekat dengan beliau, penulis pengin berkata, "Buku ini sangat penting, Pak. Penting bagi para sebagian Pendidik yang hanya menjadikan aktivitas mengajar sebagai 'bekerja' bukan pengabdian yang merupakan bentuk daripada UUD". Dengan membaca ini, penulis sedikit mengetahui bagaimana cara mendidik anak.
Wah, nanti penulis ditanya, "Ente siapa? berani-beraninya mengkritik. Kuliah dimana? Sarjana apa? Prestasi apa yang ente pernah raih?. Kampusnya banyak prestasi dan penghargaan nggak?". Penulis tidak takut ditanya seperti itu, penulis akan menjawab, "Saya bukan siapa-siapa, tidak memiliki gelar pun berkuliah, tetapi apakah di negara demokrasi seperti ini 'mengkritik' harus memiliki 'gelar' dulu?". Sebab, pertanyaan itu pernah penulis alami sendiri. Sudah cukup!
Wah, nanti penulis ditanya, "Ente siapa? berani-beraninya mengkritik. Kuliah dimana? Sarjana apa? Prestasi apa yang ente pernah raih?. Kampusnya banyak prestasi dan penghargaan nggak?". Penulis tidak takut ditanya seperti itu, penulis akan menjawab, "Saya bukan siapa-siapa, tidak memiliki gelar pun berkuliah, tetapi apakah di negara demokrasi seperti ini 'mengkritik' harus memiliki 'gelar' dulu?". Sebab, pertanyaan itu pernah penulis alami sendiri. Sudah cukup!
"Mendidik itu memimpin bukan membentuk" benarkah?. Ibaratnya begini, dalam mendidik anak atau murid, kita jangan mengumpamakan mereka adalah tepung dan tanah liat yang mudah dibentuk oleh para pengajar. Penulis pernah mendengar, "Anggap saja mereka tepung yang bisa kita bentuk sesuai dengan apa yang kita ingin: jadi bolu, kue atau gorengan". Apabila hal itu dibenarkan dan menjadi pedoman dalam proses mendidik, sudah barang tentu semua murid akan berkualitas dan baik. Sebab mungkin para pengajar tidak ingin tepung itu menjadi makanan yang tidak enak. Namun, apakah semua pelajar sekarang dapat dikatakan demikian?
Mendidik anak tidaklah semudah membalik telapak tangan. Apalagi jika kita berpedoman pada "Membentuk" tadi. Jika ada pengajar memiliki pedoman seperti ini, kita dapatlah dengan mudah melihat cirinya; para pengajar itu akan mudah marah kepada murid yang tidak mampu cepat menyerap materi yang mereka beri dan ajarkan. Sebab, para pengajar itu hanya menginginkan tercapainya keinginan agar murid cepat bisa dan mengerti, tanpa melihat sisi kurang dari murid tersebut. Kita tahu, kemampuan seseorang itu berbeda. Dari perbedaan ini kita akan mengalami kesulitan dalam menyatukan, karena akan terjadi gesekan-gesekan pribadi.
Di Indonesia, anak-anak sekolah dari mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat atas dipaksakan untuk menguasai semua mata pelajaran dalam kurun waktu tertentu. Sehingga menjelang ulangan atau ujian mereka harus bergelut dengan semua mata pelajaran. Bahkan, ujian dan ulangan dijadikan syarat menentukan masa depan. Anak yang tengah atau sudah menginjak masa remaja memiliki rasa gengsi yang sangat tinggi, sehingga ketika mereka dihadapkan dengan ulangan/ujian yang notabene menjadi acuan untuk menentukan masa depan akan mengalami depresi tingkat tinggi. Seperti yang dilansir dari Republika (04/03/2015), Psikolog Hellen mengatakan, "Berdasarkan hasil survei, 44 persen pelajar merasa stress menghadapi ujian dan tugas".
Melihat hal ini, wajarkah para pengajar memarahi murid yang kurang cepat menyerap pelajaran di sekolah? Bahkan mungkin dijadikan bahan olok-olok oleh sesama pengajar di sekolah tertentu. Lain lagi apabila guru tersebut memarahi muridnya karena malas, kurang sopan, dan nakal. Lantas bagaimana? sekolahkan mengikuti pusat?. Penulis rasa, cara yang tepat untuk mengembangkan potensi murid adalah dengan cara meningkatkan jumlah ekstrakulikuler di sekolah. Pada masa SMA, penulis berpengalaman melatih di dua ekstra: silat dan Pramuka. Di silat, penulis tidak menuntut anak untuk bisa bergerak secepat mungkin dan tidak menuntut anak untuk cepat menghapal gerakan yang diajarkan. Silat memang harus bisa bergerak secepat mungkin untuk menghindari serangan lawan, tetapi bukan cepatnya yang penulis tuntut melainkan mereka harus berlatih di rumah setiap hari.
Penulis mengikuti teori behaviorisme yang tidak mempercayai bahwa kemampuan, keahlian, dan pembawaan/bakat telah ada sejak kita dilahirkan ke bumi. Menurut teori ini, bakat, keahlian, dan kemampuan tercipta dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dilingkungannya maupun diciptakan oleh dirinya sendiri. Dulu penulis sebagai pelatih hanya memberitahu maksud gerakan dan mengevaluasi peningkatan dari tiap-tiap anak-anak untuk dijadikan catatan pelatih. Berbeda dengan eksul Pramuka, di eskul ini penulis membentuk sangga, di setiap sangga tersebut memiliki materi dan praktek pramuka yang berbeda. Dan, pemilihan anggotanya pun tidak dipilih secara abstrak melainkan sesuai dengan keahlian dan minat mereka. Hal ini penulis lakukan karena memperhatikan setiap akan menghadapi lomba, anak-anak harus berlatih bahkan ada yang dari nol, sementara lomba digelar beberapa Minggu lagi. Ketika menghadapi lomba, Penulis pengin anak-anak tidak "berlatih" melainkan "Mengasah" kembali hal-hal yang telah dipelajari. Maka dibuatlah kelompok-kelompok sesuai dengan minat dan keinginan mereka saja.
Dampaknya pun luas, ketika penulis memerintahkan mereka untuk memilih apa yang mereka sukai, maka "loyalitas" akan memenuhi benak mereka. Tanpa aturan yang ketat, mereka sadar sendiri. Membentuk itu memaksakan apa yang pengajar ingin kepada anak-anak, sementara memimpin adalah mengikuti keinginan anak-anak. Begitu
Posting Komentar