Ad Under Header
Parallax Ad

Kuningan Dalam Catatan Ilmuwan Eropa


Franz Wilhelm Junghuhn (Foto: Wikimedia Commons)
Franz Wilhelm Junghuhn lahir di Mansfield pada tahun 1809 dan wafat di Lembang pada 1864. Ia seorang naturalis, pencinta alam, geolog, dan eksplorasionis. Junghuhn juga dijuluki sebagai Humboldt van Java karena kegemarannya akan ilmu pengetahuan, sebagaimana Humboldt yang gemar akan ilmu pengetahuan.

Junghuhn sangat mencintai tanah Priangan. Dalam Bandung Tempo Doeloe, Haryoto Kunto, menuliskan hidup seorang Junghuhn tentang kecintaannya pada tanah Priangan hingga akhir hayatnya. Sebelum ajalnya menjemput, Junghuhn pernah berkata kepada sahabatnya, Dr. Groneman.

“Groneman yang budiman, maukah engkau membukakan pintu jendela kamarku ini? Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunungku yang tercinta. Buat akhir kali, aku ingin memandang hutan-hutanku. Ku ingin sekali menghirup udara pegunungan yang segar.”

Dalam bukunya yang berjudul Java, seine gestalt, pflanzendecke und innere bauart ia menuliskan perjalanannya ketika menjelajahi Pulau Jawa- dari barat ke timur. Ia membuat catatan mengenai geografi, flora, fauna, geologi, peristiwa bencana, dan lainnya selama di Pulau Jawa. Termasuk daerah kabupaten Kuningan. 

Setelah turun dari gunung Tampomas yang berada di Sumedang dan sebelum melanjutkan ke gunung Slamet yang berada di Jawa Tengah. Junghuhn menyinggahi Kuningan untuk melengkapi catatannya tentang gunung yang berada di Indonesia. 

"Gunung itu dalam bahasa Jawa dikenal sebagai gunung Tjerimai atau gunung Tjeribon. Puncaknya, yang terpotong melintang, turun secara teratur di semua sisi ke tanah datar yang dalam, yang naik lebih tinggi hanya di barat daya dan tenggara gunung membentuk lembah subur, kaki bukit Télaga dan Kuningan yang meningkat dari 1000 menjadi 1500. Tempat Tělaga, yang lebih tinggi dari dasar lembah di lereng barat daya gunung, memiliki tahun 1987 dan Kuningan di sebelah tenggara...," Tulis Junghuhn dalam bukunya.

"...tinggi gantungan 1695, sedangkan kaki timurnya di desa Sangka Nurip (dengan mata air hangat) hanya setinggi 1287. Tetapi kaki Kegelberg mencapai ketinggian terbesarnya di selatan dan selatan barat daya, di mana ia membengkak di tengah-tengah antara dua lembah atau tahap awal ke dataran tinggi cembung datar dengan ketinggian sekitar 2500, yang bertindak sebagai daerah aliran sungai sungai daerah Tjilutung yang mengalir ke barat dan Tjisangarung atau Sungai Losari, yang mengalir ke timur, terpisah satu sama lain; itu menghubungkan gunung sebagai punggung atau pelana perantara. Tjerimai pada saat yang sama dengan rantai pusat yang melewati lebih jauh ke selatan, yang sudah berlipat ganda di wilayah ini (kira-kira antara gunung Sawal dan gunung Tjerimai) dan terbagi ke timur menjadi lebih banyak." Sambungnya.

Junghuhn menceritakan tentang keadaan geologi Kuningan dan meletusnya gunung Ciremai yang pernah terjadi berbarengan dengan gunung Papandayan. Ia pun menceritakan sekilas tentang kopi yang berada di lereng gunung Ciremai ketika ia mendaki melalui barat desa Airlangga. Dan, banyak hal lainnya yang ia ceritakan.

Namun, ada hal yang menarik dalam buku catatan Junghuhn. Dalam bukunya, tercatat jelas, ia menuliskan salah satu desa yang berada di kecamatan Ciniru. Ya, desa itu bernama Ciuyah. Sebuah desa yang unik dan menyimpan misteri di kalangan para peneliti. Desa yang digadang-gadang memiliki energi panas bumi itu terdapat air asin beserta lumpur yang keluar dari dalam tanah. Padahal, jika kita tilik letak geologinya, kecamatan Ciniru tidak dekat dengan laut dan gunung. Tapi entah mengapa, lumpur yang keluar dari tanah itu, dari waktu ke waktu semakin membesar.

"Jika Anda berpikir tentang Kuningan, tempat utama pemerintahan dengan nama yang sama di Tjeribon, yang terletak di lereng tenggara bawah gunung berapi gunung Tjerimai, sedang melakukan perjalanan ke selatan, Anda dapat melihat bagaimana medan vulkanik berakhir di tepi kiri Tji Sangarung dan pegunungan Neptunian dimulai, yang di sini sebagian besar terdiri dari batu kapur halus berwarna abu-abu kebiruan..." Tulis Junghuhn.

"Di antara yang kedua, Tjiawi, yang terletak di desa Rambatan, dan yang ketiga, Tjipetak, yang membasuh desa Tjiniru, dasar lembah telah menyebar seluruhnya dan membentuk padang rumput datar dan cembung yang hanya mencakup ditempati oleh semak-semak bambu yang terisolasi dan di bagian tengahnya, area yang lebih tinggi bisa setinggi 50 'lebih tinggi dari tempat tidur Tjipetak di desa Tjiniru. Menurut perhitungan, ini adalah tinggi 780. Di tengah-tengah dasar lembah ini, di sisi timur jalan setapak, nyaris 4 tiang jauhnya, terdapat kolam air asin berlumpur, yang oleh penduduk disebut Tjiujah..." Sambungnya.

"...sungguh mengejutkan bahwa, seperti yang pasti, penduduk beberapa desa tetangga, yang menggunakan air sungai ini, yang dicampur aliran Tjiujah, sebagai air minum, menderita penyakit paru-paru, batuk, dan banyak yang meninggal sebelum waktunya. Selain karbonat kapur, karbonat soda, dan asam klorida, yang niscaya mengandung banyak air, haruskah air juga mengandung yodium?" Tutupnya.

Posting Komentar