Batu menhir. Batu menhir merupakan sebuah batu tegak kasar yang tidak di kerjakan. Disimpan manusia di tempat tinggi untuk kepentingan memperingati seseorang yang sudah mati. Batu menhir tersebut dijadikan sebagai medium penghormatan sekaligus menjadi tahta kedatangan roh nenek moyang (Tempat Pemujaan). Sumber: IG tamanpurbakalacipari |
Museum yang berlokasi di Kelurahan Cipari, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan itu ditemukan pada tahun 1971 oleh Wijaya salah seorang masyarakat lokal.
***
Kalian bakal untung kalau berkunjung ke Situs Purbakala yang berada di Cipari ini. Pasalnya, selain mendapatkan pengetahuan tentang manusia prasejarah yang pernah tinggal di kabupaten Kuningan pada zaman Megalitikum dan Neolitikum, di situs ini, kalian juga bakal dimanjakan oleh panorama alam dan kesegaran udara, dekat gunung Ciremai.
Di Museum Cipari ini, kalian akan melihat langsung koleksi manusia praaksara yang pernah menghuni kabupaten Kuningan kurang-lebih 1000 tahun yang lalu.
Artefak atau benda-benda tersebut berupa Peti Kubur Batu, Punden Berundak, Dolmen, Batu Temu Gelang, Menhir, Dakon, Kapak Batu, dan beberapa monumen yang dijadikan medium pada saat melakukan ritual khusus.
Seperti penghormatan kepada alam maupun ke leluhur yang mereka percayai, kala itu.
Apakah manusia zaman dulu di Kuningan memiliki sistem kepercayaan?
Menurut Yondri (2011: 66), berkembangnya budaya ini ke pelbagai pelosok Nusantara didukung oleh para pemakai bahasa Austronesia.
Khususnya yang menghasilkan alat-alat dan membangun benda-benda yang disusun dari bongkahan-bongkahan batu-batu besar.
Termasuk salah satunya peninggalan-peninggalan kepurbakalaan yang berada di kabupaten Kuningan. Seperti ditemukannya peti batu mati yang terdapat di beberapa desa.
Adanya beberapa peti batu mati seperti di desa Cibuntu, Cigugur, desa Ragawacana, desa Rajadanu, Cigadung, ini menunjukkan bahwa manusia purba yang berada di kabupaten Kuningan pada masa lalu telah menganut sistem kepercayaan.
Meski di dalam peti itu tidak terdapat kerangka mayat, tetapi di dalam peti itu terdapat beberapa peralatan yang biasa digunakan sehari-hari atau bekal kubur.
Menurut A.C. Kruyt, benda-benda tersebut bukanlah berarti memberi sesajian atau hadiah dari yang masih hidup kepada yang sudah mati, melainkan kebiasaan yang berlandaskan kepercayaan bahwa si mati harus dibekali dengan benda-benda penting miliknya sendiri, dengan tujuan agar arwah si mati dengan perlengkapannya itu dapat meneruskan kehidupannya di alam arwah (Soejono, 1977: 212-213).
Bagaimana sih awal Museum Purbakala Cipari itu terbentuk?
Menurut Ekadjati dalam bukunya (2003), awalnya, tempat atau tanah yang kini jadi Museum Purbakala itu tidak menampakkan tanda-tanda adanya peninggalan-peninggalan manusia purba.
Pada tahun 1971, warga lokal yang bernama Wijaya [yang sekaligus pemilik tanah kala itu] secara tidak sengaja menemukan batu yang mirip dengan batu yang pernah dipamerkan di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur Kuningan.
Mendengar informasi itu, P. Djatikusumah dan ketua Tim Survey Sejarah Kepurbakalaan Kabupaten Kuningan melakukan penelitian di tempat tersebut.
Selang beberapa waktu, Bapak Wijaya dan yang lainnya melakukan penggalian di lokasi tersebut. Setelah melakukan penggalian percobaan, mereka menemukan peninggalan-peninggalan yang terkubur di dalam tanah.
Hasil dari penggalian itu dilaporkan kepada Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Jakarta.
Setelah dilaporkan, pada tahun 1972, Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional mulai mengadakan proyek penelitian dan penggalian yang hanya bertujuan menyelamatkan benda-benda peninggalan tersebut. Barulah pada tahun 1975, penggalian itu dilakukan secara total.
Masih belum diresmikan, tahun berikutnya, 1976, tim mendirikan bangunan Situs Museum Taman Purbakala Cipari.
Selang satu tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Syarif Thayeb, akhirnya, meresmikan Situs Taman Purbakala Cipari sebagai daerah konservasi atau cagar budaya.
Posting Komentar