Sumber: pamulihankuningan.blogspot.com |
Agresi militer Belanda l di Pulau Jawa dan Sumatera digencarkan pada 21 Juli 1947 melalui pelbagai arah. Pada 24 Juli 1947, Kuningan dan Cirebon diserang melalui tiga pesawat tempur Belanda. Penyerangan melalui udara itu menyasar objek-objek vital seperti gardu listrik, kantor pos, dan kantor telepon.
Kemudian pada 27 Juli 1947, seusai penyerangan melalui udara, prajurit-prajurit Belanda mulai memasuki kota Kuningan dari arah timur melalui Cirebon - Babakan - Waled - Cidahu - Lebakwangi - Garawangi - Kuningan dan arah utara melalui jalur Cirebon - Cilimus - Kuningan.
Menurut Soetanto (2007), Belanda menyerang dengan kekuatan 2 batalyon artileri medan, 1 skuadron tank, 1 kompi zeni lapangan, 1 skuadron panser dan kekuatan bantuan lainnya. Dengan kekuatan ini, pihak Belanda berhasil menduduki beberapa wilayah diantaranya: Tomo, Majalengka, kadipaten dan kota Cirebon.
Kala itu, kekuatan Belanda cukup besar, Divisi Siliwangi dan laskar-laskar menyebar ke daerah pedalaman dan bersatu dengan rakyat di pedesaan. Hal inilah yang kemudian membuat Ibu Kota Keresedinan Cirebon dipindahkan sementara ke desa Ciwaru baik aktivitas pemerintahannya maupun aktivitas kemiliterannya.
Menyebarnya pejuang Indonesia ke pelbagai daerah bukanlah untuk menyerah. Penyebaran ini dilakukan guna melakukan kembali serangan-serangan yang tepat. Pejuang Indonesia di Kuningan memang tak memiliki senjata seperti pasukan-pasukan Belanda. Dalam buku Siliwangi Dari Masa Ke Masa disebutkan bahwa serdadu-serdadu Belanda sebulan sebelum agresi militer digencarkan mereka memiliki pasukan sebanyak 100 ribu dengan perlengkapan yang sudah modern. Dengan kekuatan inilah mereka merasa siap menggempur Indonesia.
Namun, meski senjata mereka canggih, untuk di Kuningan sendiri senjata-senjata mereka tak dapat digunakan secara leluasa. Pasalnya, setelah Belanda menguasai jalan raya dan Cirebon, Dewan Perwakiran Daerah (DPD) Keresidenan Cirebon dan pimpinan Bridge V/SGD Divisi Siliwangi menggelar meja bundar untuk menentukan kira-kira wilayah yang aman untuk digunakan pengungsian darurat ibu kota Keresidenan Cirebon. Di pilihlah desa Ciwaru sebagai ibu kota sementara yang dimana desa tersebut sulit dijangkau karena lebatnya hutan termasuk basis-basis pertahanan pun disebarkan ke pedalaman.
Pada momen inilah pejuang Indonesia mulai bergerak melalui perlawanan-perlawanan gerilya.
Gerilya di desa Pamulihan
Menurut buku Siliwangi Dari Masa Ke Masa sejak pihak Belanda menggencakan agresi militer pertama seolah telah memaksakan kepada Divisi Siliwangi untuk mengambil atau menggencarkan bentuk perlawanan gerilya. Meski dengan senjata seadanya Pejuang Indonesia tak gentar atau runtuh.
Dalam buku yang ditulis oleh Ekadjati dkk (1987), untuk mengkoordinir gerakan gerilya di Kuningan, daerah kabupaten Kuningan dibagi menjadi dua. Yang pertama daerah Gerilya ll meliputi daerah Kuningan Timur dan Kuningan Selatan dipimpin oleh Mayor Rukman, dan daerah Gerilya lll meliputi Kuningan Barat dan Utara dipimpin oleh Kapten Umar Wirahadikusumah.
Setelah pembagian daerah gerilya, kemudian tiap pasukan perjuangan diberikan daerah operasi. Seperti pasukan pimpinan Kapten Mustopa Sudirdja yang ditugaskan di sekitar daerah Ciawigebang sampai ke daerah perbatasan dengan Sindanglaut dan pasukan pimpinan Kapten Mahmud Pasha ditugaskan di daerah Kuningan Utara sampai daerah perbatasan Cirebon Selatan.
Karena perang gerilya, markas pasukan pun sering berpindah-pindah. Seperti pasukan Kapten Mahmud Pasha yang semula bermarkas di Sagarahiang berpindah salah satunya ke desa Pamulihan.
Desa Pamulihan sebagai lokasi strategis
Desa Paulihan dipilih bukan tanpa alasan. Ekadjati dkk menjelaskan dalam bukunya, dipilihnya desa Pamulihan sebagai markas pasukan Mahmud Pasha adalah karena lokasinya yang strategis. Desa ini juah dengan jalan raya Cirebon maupun jalan raya Cidahu sehingga hal ini dapat memperlambat pasukan Belanda untuk menemukan pasukan Mahmud Pasha.
Di samping karena lokasinya yang strategis, masyarakat desa Paulihan pun sangat dapat diandalkan untuk menjadi mata-mata pejuang Indonesia dan senantiasa mendukung penuh perjuangan pasukan Indonesia baik logistik maupun akomodasinya.
Pasukan Belanda ketakutan mendengar nama Kapten Mahmud Pasha
Pada masa itu, Kapten Mahmud Pasha dikenal berani oleh sesama pejuang bahkan paskan Belanda ketakutan. Hal ini karena setiap penyerangan dilakukan ke setiap penjagaan, markas, dan patroli Belanda tak pernah gagal. Korban dari pasukan Belanda pun banyak yang berjatuhan pada saat pasukan ini bergelirya.
Pasukan Mahmud Pasha juga dikenal dengan Pasukan Setan. Bagi pihak Belanda, menangkap pasukan ini merupakan sebuah keberhasilan telak. Mereka pun berupaya penuh dengan berbagai cara untuk mendapatkan atau manghancurkan pasukan ini.
Desa Pamulihan menjadi saksi kegagalan tentara Belanda
Mata-mata Belanda pun disebarkan untuk mencari informasi keberadaan pasukan ini. Hingga suatu ketika, keberadaan pasukan ini terendus.
Dengan gercep, pihak Belanda mulai menyerang keberadaan kapten Mahmud Pasha. Mereka menerbangkan pesawat tempur yang memuntahkan bom kecil dan besar di atas desai ini. Bahkan tidak hanya dari udara, serangan pun turut digencarkan di darat sebelah utara (Cirebon).
Meski digempur habis-habisan, pasukan yang dipimpin oleh Kapten Mahmud Pasha ini berhasil selamat dari serangan tersebut. Berkat kesiap-siagaan dan kelincahan pasukan ini tidak ada korban manusia yang melayang hanya beberapa rumah saja yang hancur akibat serangan tersebut. Penyerangan Belanda ke keberadaan pasukan Kapten Mahmud Pasha di desa Pamulihan ini mengalami kegagalan telak.
Posting Komentar