Tentang rasa yang diutarakan diam-diam
Dear Kamu (Poto: Pixselle.com) |
Dear Kamu,
Surat ini kutulis tidak bermaksud untuk mengekangmu. Juga tidak bermaksud untuk memaksamu. Aku harap kamu paham dengan segala apa yang kusampaikan—melalui bait-bait yang mungkin membuatmu rumit—dari kata menjadi rasa; kusampaikan dengan penuh kejujuran.
Aku sama dengan mereka yang pernah mengenakan putih-abu. Pun dengan keinginan setelah kelulusan untuk melanjutkan; kuliah. Kala itu, aku berkumpul bersama lima sahabatku di depan rumah. Aku yang baru datang dari dapur membawa air minum, mendengar semua apa yang mereka bicarakan. Masing-masing mereka sangat sibuk dengan gadget yang dipegang siang hari.
“Sibuk amat?” Kataku sembari menyimpan gelas ke atas meja.
“Iya nih, lagi daftar kuliah online”. Jawab salah satu dari kelima temanku.
“Kamu pasti mau melanjutkan ke UI ya?”. Seloroh temanku menepuk bahu.
Aku hanya terdiam lalu kemudian menjawab pertanyaan dengan senyuman. “Wah hebat sekali. Kamu pasti bisa”. Kata mereka meng-iya-kan.
Aku terdiam bukan berarti aku tidak memiliki keinginan. Aku sangat ingin melanjutkan ke perguruan tinggi tapi bagaimana dengan perintah Abi-Umi? Yang menyuruhku untuk menikah dini dengan alasan ekonomi. Aku sadar dengan keberadaanku yang memiliki banyak kekurangan.
Aku tidak ingin membantah perintah mereka tapi hati kecilku berontak tidak sepakat dengan apa yang mereka katakan. Aku hanya mampu menunduk seolah setuju.
Malam cepat sekali datang. Padahal, ini adalah hari terakhir kita bersua. Mengingat pertanyaan dari temanku, aku hanya mampu menghebuskan napas secara perlahan dan bersandar; lemas, sesak “Aku harus bagaimana”. Kataku gemetar.
Tidak panjang lebar cerita yang kusampaikan. Itu adalah sedikit gambaran agar kamu mengerti dengan surat ini.
Begini.
Bolehkah aku meminta sesuatu darimu? Sesuatu yang sebelumnya telah menjadi alasan kenapa aku berusaha siang, malam dan pagi hanya untuk membuka buku. Aku ingin kamu mengerti dengan mimpiku untuk melanjutkan ke universitas negeri.
Apakah kamu keberatan?
Jika kamu tidak memiliki banyak biaya, boleh acara pernikahan kita nanti tidak mengadakan apa-apa. Kamu tidak perlu melamar aku dengan cincin yang mewah. Tidak perlu mendirikan tenda biru yang membutuhkan biaya. Tidak perlu membuat undangan dengan segala macam acara. Boleh, tidak apa-apa. Aku hanya ingin kamu mengerti dengan apa yang telah aku nanti-nanti.
Bolehkah?
Aku tahu, tidak semua laki-laki setuju dengan apa yang ingin aku tuju. Mungkin sebagian mereka menganggap aku wanita yang tidak ber-etika. Bahkan, mungkin, mereka akan menjauhiku dengan berbagai macam cara. Tidak apa-apa, aku akan menerima semua itu dengan lapang dada.
Ini seperti ego yang tengah kuberi makan. Namun apakah ciri wanita baik adalah dengan tidak meminta apa-apa kepada suaminya? yang mengikuti semua perkataan sebagai tanda kesetiaan? yang hanya diam di rumah untuk mengerjakan segala pekerjaan rumah? Apakah hanya untuk itu wanita diciptakan?
Kurasa tidak demikian. Laki-laki yang baik adalah laki-laki yang mengerti dengan keinginan hati seorang istri. Begitu dengan wanita yang baik adalah wanita yang mengerti dengan hati suami. Bukan mereka yang sama-sama ingin menang sendiri.
Bagaimana? Bolehkah?
Bolehkah jika aku memintamu seperti itu? Yang mau menemaniku di persinggahan sementara di kota? Yang mau menuntunku untuk menggapai mimpi yang selama ini aku nanti-nanti setiap hari?.
Jika laki-laki memandangku ini adalah wanita yang hanya ingin 'Menang sendiri' tidak apa-apa. Lagian surat ini kutujukan untuk jodohku yang entah dimana. Kalau toh ia datang setelah membaca surat ini berarti ia sepakat dengan apa yang telah aku minta. Ia mengerti dengan segala kesulitan hidupku ini.
Terakhir, aku tidak peduli laki-laki itu berasal dari mana, keluarga mana, suku mana. Yang kuingin hanya laki-laki yang mau menuntunku untuk menggapai mimpi. Dengan pernyataan yang menjadi judul dari surat ini "Jika Mau Menikahiku Tuntun Aku Untuk Menggapai Mimpiku".
Posting Komentar