Ad Under Header
Parallax Ad

Emma Poeradiredja, Pejuang Emansipasi Asal Kuningan Yang Terlupakan

Emma Poeradiredja, Pejuang Emansipasi Asal Kuningan Yang Terlupakan
Emma Poeradiredja (Foto: Alif.id)
Perjuangan dalam upaya menyetarakan hak perempuan di masa lalu menjadi sesuatu hal yang 'Harus' dilakukan bagi segelintir orang yang tidak betah dengan budaya yang selalu menjunjung tinggi budaya patriarki. Seakan-akan kaum wanita hanya bersangkut-paut dengan dapur, kasur dan sumur, kala itu. Bahkan, di zaman sekarang pun masih banyak masyarakat yang masih mempercayai 'framing' wanita di tiga tempat. Mereka berkata “Buat apa sekolah tinggi kalau ujung-ujungnya berprofesi ibu rumah tangga juga”. 


Melihat dari sudut masa lalu, framing ini adalah bawaan atau pengaruh dari zaman kolonial Belanda. Pun dari aspek ekonomi dimana dulu orang yang bersekolah hanya untuk kaum tertentu saja. Namun, untuk wanita, sekalipun mereka berasal dari keturunan menak, dalam mengenyam pendidikan—mereka pun harus berhadapan dengan budaya. Bagaimana kisah R.A Kartini tentang keinginannya untuk mengenyam pendidikan? Jatuh-bangun harus dilaluinya dengan tegar tetapi membuahkan hasil. Lahirlah buku “Habis gelap terbitlah terang”. 

Jika hari lalu saya menulis ulasan tentang tokoh asal Kuningan dengan sederet prestasi yang hebat, kini, saya menemukan tokoh yang saya, mungkin juga Anda tidak mengetahui secara spesifik. Maka, di tengah pandemi ini, saya akan mengabarkan berita-cerita yang dapat menambah wawasan serta membuat suasana hati—dari yang tadinya gelisah, kini, terhibur dan terinspirasi. Saya harap demikian. 
21 April adalah hari dimana seluruh masyarakat Indonesia memperingati hari kelahiran pejuang emansipasi. Berbagai acara pun diselenggarakan di tiap-tiap sudut instansi dengan sangat meriah; lomba kebaya, lomba masak dan kadang lomba puisi. Namun kita melupakan beberapa tokoh lainnya yang tak kalah penting dalam memajukan kaum wanita di tanah air. Terkhusus untuk kabupaten Kuningan sendiri. 

Kita melupakan putri asal Cilimus kabupaten Kuningan. Namanya seakan-akan hilang di bumi Pasundan ini. Baik, kita bahas secara tuntas siapa Emma dan bagaimana ia memperjuangkan emansipasi di tanah air. 

Sekilas tentang Emma Poeradiredja

Emma Poeradiredja bernama lengkap Raden Rachmat'ulhadiah Poeradiredja lahir 13 Agustus 1902 di Cilimus, Kab. Kuningan, Jawa Barat. Di usia 10 tahun ia sekolah di Hollandch Inlandsce Shcool Tasikmalaya pada tahun 1910-1917. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Bandung dari tahun 1917 sampai tahun 1921. Kemudian, Emma melanjutkan sekolahnya ke luar negeri di SSVS Dientoxamont pada 1921. 

Setelah lulus dari SSVS, Emma bekerja di PT Kereta Api Indonesia yang waktu itu masih dikelola oleh Belanda. Beberapa waktu kemudian Emma keluar dari perusahaan itu karena ia tidak sudi bekerja di perusahaan yang dikelola oleh penjajah. Pada tahun 1957 Emma ditugaskan untuk mempelajari administrasi kesejahteraan pegawai di School for worker the university of wisconsin di Amerika Serikat. Setelah lulus, Emma diberi sertifikat bidang Cooperative Administration. 

(Kelahiran Emma mengalami perbedaan dari berbagai media yang saya telusuri tetapi situs Kemdikbud yang saya percayai sebagai media yang valid menyebutkan bahwa Emma lahir di Cilimus Kuningan). 

Bagaimana Emma aktif di berbagai organisasi dan instansi


Ketika sekolah di Mullo, Emma menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB) dan menjabar ketua cabang Bandung pada tahun 1925. Ia juga aktif di organisasi kepemudaan lainnya, ia menjadi pemimpin Pandu Puteri hingga Pandu Indonesia dalam rentang waktu 1925 sampai dengan 1940. Keaktifan Emma di berbagai organisasi kepemudaan membawanya untuk mengikuti kongres pemuda I pada tahun 1926, pemuda II 27-28 Oktober 1928 ia memberi tanggapan akan pentingnya kemajuan perempuan dalam bidang pendidikan dan kongres perempuan Indonesia III ia menjadi ketua kongres pada tahun 1938.



Tidak hanya itu, pada tahun 1930 ia mendirikan organisasi PASI (Pasundan Istri) dan menjadi ketuanya dari tahun 1930-1970. Di bidang sosial ia mendirikan yayasan panti asuhan di Bandung sekaligus menjadi ketuanya pada tahun 1935, sebagai ketua BKR atau Badan Keselamatan Rakyat, sebagai Direktur yayasan KWKA atau Kematian Warga Kereta Api.

Keaktifan Emma di berbagai organisasi membawanya ke berbagai instansi, Ia pernah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) 1959-1965, anggota MPRS 1968, Anggota DPR/MPR pemilu 1971,  Anggota Dewan Penyantun di Institut Teknologi Bandung, Anggota Dewan Penyantun di IKIP Bandung, Anggota Panitia Pendiri UNPAD dan menjadi Penasehat Pemuda Putri Indonesia Jawa Barat. Atas jasa-jasanya, Presiden Soeharto memberinya penghargaan berupa Piagam Tanda Penghormatan Bintang Mahaputra IV pada 1975.

Emma Poeradiredja merupakan satu-satunya wanita pertama duduk di Dewan Parlemen Bandung. Sebelumnya, bersama keempat rekannya, Emma mengusahakan agar wanita Indonesia memiliki hak pilih. Setelah perjuangan panjang dan melelahkan itu, pada tahun 1938, akhirnya pihak Belanda mengabulkan keinginananya. Meski hanya mendapat hak pilih pasif tapi ini merupakan kabar baik bagi aktivias lainnya. Mereka bersuka-cita menyambut hal ini.

Emma Dalam Monolog Wanodja Soenda

Monolog Wanodja Soenda adalah pentas yang menampilkan 3 tokoh wanita yang berasal dari bumi Pasundan. 3 tokoh wanita yang pernah bersinar di zamannya ini diperankan oleh 3 artis asal Sunda; Maudy Koesnaedi sebagai Lasminingrat, Rieke Diah Pitaloka sebagai Emma Poeradiredja, dan Sita Nursanti sebagai Raden Dewi Sartika.

Dalam monolognya, masing-masing tokoh itu menceritakan apa yang telah diperjuangkannya di masa lalu. Maudy sebagai Lasminingrat memperjuangkan agar warga tidak buta aksara. Namun sekolah yang digratiskan oleh ayahnya dicap sebagai sekolah kafir.

Sita yang memerankan Raden Dewi Sartika, memperjuangan agar perempuan bisa mengenyam pendidikan. Sementara Diah Pitaloka yang memerankan Emma seolah mengamini bahwa status 'ningrat; itu tidak penting lagi. Dan, pentingnya menjalin jaringan kemerdekaan dan masuk organisasi.

Posting Komentar