Ad Under Header
Parallax Ad

Kisah Gugurnya 3 Tentara Pelajar (di) Kuningan


Tentara Pelajar Kuningan
 - Tugas-tugas yang diemban Tentara Pelajar (TP) bukan hanya sekadar menghapal dan menghitung—lebih berat dari hari Senin dan pelajaran matematika yang diselipkan pada jam sesudah dzuhur. 

Sembari menjalani keseharian sebagai pelajar yang secara umum memiliki kebiasaan membaca dan menulis; mereka pun mengemban tugas yang bersifat kemiliteran dan sipil. Tugas-tugas yang mereka emban amat berat. 

Seperti, sebagai informan yang mencari seluk-beluk musuh, sebagai penghubung antar pasukan Pejuang, serta turut ikut turun ke medan perang.

Mereka, Tentara Pelajar, khususnya yang ada di Kuningan diberi tugas oleh TNI (Sebelum TNI melakukan perjalanan ke Yogyakarta dalam kelanjutan perjanjian Renville) untuk membina perjuangan di Kuningan. 

Tugas dilakukan harus apik agar tidak mudah terendus oleh tentara Belanda. Maka mereka pun mengkoordinir kegiatan-kegiatan perjuangannya dengan membentuk Satuan Tugas yang diketuai oleh Abdul Adjid, dan bermarkas di sebuah bangunan yang sekarang berada di Jalan Pramuka 42. 

Perlu diketahui, Tentara Pelajar Kuningan yang diketuai Ms. Moh. Sulaeman merupakan bagian dari Tentara Pelajar Batalion IV Cirebon. TP Kuningan bermarkas di sebuah rumah di Jalan Aruji Kartawinata nomor 6. Dan, untuk mengasah kemampuan menembaknya mereka berlatih di hutan Bungkirit, pinggir jalan sebelah selatan yang menuju desa Cigugur.

Monumen Perjuangan Tentara Pelajar Kuningan

Monumen Perjuangan Tentara Pelajar di Kabupaten Kuningan didirikan untuk memperingati gugurnya TP Kuningan pada 22 Agustus 1948. Mereka ditembak oleh tentara Belanda sesaat setelah kegiatannya dimata-matai oleh pengkhianat.

Monumen yang dibangun di atas tanah pinggir barat jalan raya Kuningan-Cirebon ini berbentuk segi empat yang terdiri atas 2 bagian. Pada bagian atas berukuran 51 x 61 cm dan memiliki tulisan pada bagian depan yang berbunyi “Di bumi ini gugur 3 (tiga) pejuang bangsa, saat perang kemerdekaan pada 22 Agustus 1948". 

Sementara bagian bawahnya berukuran 1,04 x 1,09m yang memiliki tinggi 1,57 m.

Ketiga Tentara Pelajar Kuningan yang gugur itu bernama Abdul Adjid, Afidik, dan Moh. Chalil

Kematian adalah takdir. Kita tidak bisa memilih bagaimana cara kita mati, kapan, dan dimana. 

Lirih hati ketiga orang pejuang itu mungkin ingin hidup agak lama agar bisa melihat cara generasi baru mengisi kemerdekaan seperti apa. 

Namun, kematian adalah takdir yang tak bisa dipilih. Pun dengan tentara Belanda yang saban waktu selalu ada pasukannya yang mati—yang berulang kali pasukannya gugur akibat serangan mendadak yang dilakukan oleh TNI. 

Melihat hal itu, maka pihak Belanda pun melancarkan gerakan pembersihan di kalangan masyarakat. Gerakan ini bertujuan untuk menangkap mereka yang dicurigai membantu TNI dan yang menyebar-luaskan poster yang isinya menentang kekuasaan Belanda di Kuningan. 

Tidak lain, kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan sekaligus tugas Tentara Pelajar yang diketuai oleh Abdul Adjid. 

Mendengar gerakan pembersihan yang akan dilakukan Belanda, pimpinan TNI pun mulai khawatir—memikirkan keselamatan Tentara Pelajar yang tengah bertugas di kandang musuh. Maka pihak TNI mengirim seorang kurir yang membawa pesan kepada TP yang tengah bertugas agar pergi dari kota Kuningan dan bergabung kembali bersama pasukan TNI di pedalaman. 

Namun, pesan yang disampaikan E. Madrohim sebagai kurir tidak digubris oleh Komandan Satuan Tugas Bawah Tanah. Mereka tetap bergerak senyap di kota Kuningan. Kecuali Moh. Sulaeman, ia segera pergi dari kota dan bergabung bersama TNI di Sagarahiang. 

Hal yang tak berada dalam harapan pun terjadi. Pihak Belanda mengendus kegiatan TP Kuningan akibat ulah pengkhianat atau mata-mata dilingkungan dunia pelajar Kuningan sendiri. 

Ternyata, mata-mata itu gurunya sendiri di SMP. Ia bekerja sebagai mata-mata untuk Belanda.

Meski seorang guru itu telah diculik oleh TNI tetapi informasi tentang kegiatan TP Kuningan yang didapatkannya sudah berada digenggaman pihak Belanda. 

Akhirnya, tak lama kemudian, pada 21 Agustus 1948, tentara Belanda menggerebek TP Kuningan di rumah Afidik yang sedang melangsungkan rapat. 

Beberapa pelajar berhasil kabur melalui jendela belakang. Namun, Afidik dan Moh. Chalil tertangkap serta Abdul Adjid tertangkap pada keesokan harinya. 

Setahun tak ada kabar tentang ketiga TP itu. Pada 22 Agustus 1949 mereka telah menjadi mayat yang ditemukan di sekitar jembatan Cisande. 

Ketiga pejuang itu dimakamkan di Astana Gede, Kuningan, sebagai pahlawan kusuma bangsa. Pemakaman dihadiri oleh masyarakat dan pelajar dalam jumlah banyak. 

300 m sebelah utara sungai Cisande (sekitaran Ciloa) berdiri kokoh Monumen Perjuangan Tentara Pelajar Kuningan, mereka, ketiga orang itu: Abdul Adjid, Afidik, dan Moh. Chalil.

Posting Komentar