Tiba-tiba perwakilan cahaya menjelma. Dalam nurani, selain tugasnya sebagai kepala desa, Wirya Atmaja merasa terpanggil untuk membereskan semua permasalahan yang terjadi dan ada di warganya.
Sebuah Kebijakan yang Tepat Untuk Meninggalkan Desa Beserta Kenangan-kenangan Didalamnya
Pada 14 September 1949, ia membuat sebuah kebijakan yang menginstruksikan kepada seluruh penduduk Desa Gunungjawa (sekarang, Karangkancana) untuk berpindah (Sementara) ke daerah yang dianggap lebih aman.
Warga pun berbondong-bondong. Sebagian mereka ada yang mengungsi ke desa Kaduagung, Getasan, Pabuaran, Cileuya, Ciwaru, dan ada pula diantara mereka yang mengungsi ke kota Kuningan, serta tidak sedikit dari mereka mengungsi ke daerah Luragung dan sekitarnya khususnya di Kampung Situ Luragung.
Hati warga mengatakan, ini amat berat. Mereka harus rela meninggalkan harta-benda, kehilangan tempat tinggal, sanak saudara, dan meninggalkan desa beserta kenangan-kenangan di dalamnya.
Sekotak pilu memburu. Namun, entah, mereka hanya bisa pasrah menerima keadaan ditengah-tengah gelisah. Terkadang, kehidupan memaksa manusia untuk menerima keadaan yang tak ada di dalam harapan, pun, doa.
Pasca warga berpindah, desa yang dulu bernama Gunungjawa itu menjadi kota sepi—amat sepi. Desa mati, mungkin agak pantas—sebab di dalam desa itu tak ada lagi aktivitas keseharian manusia seperti bertani, ngerumpi, bekerja, menjemur baju, anak-anak bermain, dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Perpindahan warga secara menyebar ini membuat Pesantren Gunungjawa mengakhiri kegiatan belajar-mengajar pada 4 Oktober.
Terkadang, kehidupan memaksa manusia untuk menerima keadaan yang tak ada di dalam harapannya.
Meski Warga Pelan-pelan Sudah Mengikhlaskan Tempat Lahirnya Tetapi Wirya Atmaja Ingin Warganya Kembali Bersama di Bawah Karangkancana
Kasih sayang Wirya Atmaja kepada segenap warganya tak henti sampai membuat warganya aman dengan memindahkan mereka ke tempat lain.
Namun, jauh dalam nuraninya, ia ingin mereka kembali bersatu-bersama. Lirih hatinya ia ucapkan dalam tindakan; tak hanya sekadar rencana yang dituang dalam secarik visi-misi.
Tepatnya 30 Juni 1952, Wirya Atmaja dan segenap tokoh lainnya berkumpul untuk mengadakan musyawarah. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya Wirya Atmaja sendiri, Moh. Suntana (Kyai Bandrun), Nada Sukatma, Abah Jusa, Yusuf, dan Sastradinata.
Adapun isi hasil musyawarah yang diadakan kampung Getasan:
- Memindahkan kedudukan ibukota desa Gunungjawa beserta 3 buah kampung lainnya (Margacina, Banjaran dan Jabranti/Situ wetan) ke tempat lain yang lebih aman.
- Tempat baru yang dimaksud pada poin satu yaitu sebidang tanah bengkok yang berlokasi berada di sebelah Barat Desa Gunungjawa.
- Pemindahan dimaksud dilakukan dengan alasan di Desa Gunungjawa seringkali didatangi gerombolan DI/TII pengacau keamanan yang selalu mengadakan berbagai tekanan kepada warga masyarakat, selain itu sering pula terjadi pertempuran-pertempuran yang dahsyat antara TNI dengan gerombolan DI/TII, sehingga warga masyarakat merasa tidak aman dan banyak yang mengungsi ke tampat lain.
- Mengganti nama desa Gunungjawa dengan nama desa yang baru, yaitu “Karangkancana”.
- Mengajukan perubahan status tanah bengkok dari tanah hak pakai menjadi tanah hak milik warga masyarakat.
- Pemindahan tempat kedudukan desa Gunungjawa ke tempat baru tersebut dalam kenyataannya telah dilakukan sejak tanggal 3 Agustus 1951.
Pernyataan tersebut sebagai dasar untuk mengajukan permohonan kepada Gubernur Jawa Barat melalui Bupati Daerah Kuningan tentang “Pemindahan tempat kedudukan Desa Gunungjawa Kecamatan Ciwaru, dan permohonan Pergantian nama desa menjadi sebutan baru: KARANGKANCANA”.
Sebagai Jalan Satu-satunya, dan Pengorbanan yang Patut Diteladani
Tak ada lagi langkah lain. Keenam poin hasil musyawarah tersebut adalah jalan-jalan satu-satunya yang ia usahakan demi warganya yang telah ia anggap sebagai keluarganya sendiri.
Kemudian, langkah tersebut ia iringi dengan semoga. Pada 30 Juli 1952, ia mulai melangkah untuk mengajukan surat permohonan kepada Gubernur melalui Bupati Kuningan dengan melampirkan hasil musyawarah itu.
Harapan, dan lirih doa yang selalu ia panjatkan, akhirnya, menjadi kenyataan. Pada 28 Juli 1954 melalui SK Nomor: 1217/17-K/Reg.79/GDB/UD/54, secara resmi, warga yang dulu tersebar di pelbagai desa dapat bersama-bersatu kembali dengan nama dan tempat yang baru, yakni KARANGKANCANA dan berada di sebelah barat desa lama (Gunungjawa).
Tanah bengkok yang dimaksud poin 4 adalah bengkok milik Wirya Atmaja sendiri. Seorang kepala desa yang rela melepaskan tanah bengkoknya demi kepentingan bersama warganya sendiri.
Posting Komentar