Potret foto zaman dulu |
Pasca kemerdekaan kira-kira dua tahun keadaan ekonomi bangsa Indonesia belum stabil. Kelaparan dan kesenjangan sosial yang tersebar di pelosok negeri menjadi beban kedua bagi presiden. Baru saja terlepas dari jerat penjajah, rupanya sentimen kolonial tak pernah henti untuk menguasai lagi bangsa ini. Di tambah lagi gangguan keamanan yang dilakukan oleh DI/TII Kartosuwiryo semakin menambah keterpurukan di semua lini kehidupan.
Beban bangsa tidak hanya dirasakan oleh para penguasa tetapi juga dirasakan oleh semua masyarakat yang baru saja merasakan udara merdeka. Terutama di lini ekonomi. Kala itu, masyarakat Indonesia merasakan sesak yang tiba-tiba mendesak. Pontang-panting mencari sesuap nasi menjadi hal yang biasa-biasa saja mereka tekuni. Mereka lebih memilih mandiri ketimbang menunggu bantuan dari pemerintah. Sebab, mereka juga sadar, kala itu, bangsa ini baru saja keluar dari jeruji mana mungkin langsung menjadi bangsa yang tak tertandingi.
Baca juga:
- Nama asli Gunung Ciremai adalah Gunung Indrakila?
- Mengulas peninggalan Kerajaan kuna di desa Susukan
Ya, bisa dibilang apapun yang bisa dimakan--mereka makan tanpa memikirkan bergizi atau tidaknya makanan yang mereka dapati. Yang terpenting kenyang!
Morat-marit keadaan ekonomi inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya bisnis burjo yang diinisiasi oleh mantan lurah yaitu Salim Saca Santana. Awalnya, Salim melakukan uji coba membuat resep bubur kacang ijo. Lantas ia membagikannya ke tetangga secara cuma-cuma. Tak dinyana, resep bubur kacang ijo yang Salim buat mendapatkan apresiasi yang kalau digambarkan mah 'Tepuk tangan' dari warga yang pernah mengecap bubur buatannya. Setelah membagikan kepada warga yang berada dilingkungan rumahnya. Kemudian ia berkeliling dan lagi-lagi ia membagikannya secara cuma-cuma alias gratis.
Singkat cerita, Salim yang berasal dari Cimindi Balong Garawangi ini mulai berdagang dengan cara keliling. Rutenya dari jalan Cigodeg-Kebumen, jalan Siliwangi, depan masjid SI, terminal bus (Sekarang taman kota), perempatan jalan Citamba dan berakhir mangkal di pasar lama yang berdekatan dengan tempat bekas bioskop Ciremai dan bekas kantor Mapolres (Sekarang jalan Langlangbuana). Kemudian pada tahun 1950-an, Salim mulai mendirikan warung sederhana di kota Kuningan.
Gambar bubur kacang hijau (Foto: caramembuat.id) |
Dalam Buku Dinamika Warung Bubur Kacang Hijau Kuningan yang ditulis oleh Sukiman menyebutkan “Para perantau asal Kuningan dikenal sebagai wiraswasta yang
ulung dan tangguh. Mereka menyebar dan mendirikan usaha kecil –
kecilan tetapi menggurita. Salah satu usaha yang cukup dikenal luas adalah
warung bubur kacang hijau. Tradisi ini diawali oleh Salim Saca Santana,
mantan Lurah Kaliwon Desa Cimindi Balong Kecamatan Garawangi 60 tahun
silam, dikarenakan ekonomi desa sedang sulit maka Salim berjualan
bubur untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salim menyebarluaskan resep
membuat burjo kepada warga desanya. Pada tahun 1950, lima pemuda membawa
resep itu sebagai bekal merantau. Dari situlah cikal bakal para
perantau burjo asal Kuningan berawal” (Sukiman: 2006).
Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) mampu menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat Yogyakarta maupun pemerintahnya. Sehingga pada tahun 2015 dipilihlah menjadi batasan kajian yaitu puncak eksistensi pedagang burjo di Yogyakarta. Bahkan, dalam beberapa kesempatan tokoh-tokoh dari Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengkubowono X dan GKR Hemas turut hadir termasuk bupati Hj. Utje Suganda kala itu.
Posting Komentar