Gambar hanya ilustrasi. Ini adalah pelajar SMP 1 KUningan di zaman Belanda. |
Rupanya hasil dari perundingan Renville pada tanggal 17 Januari 1948 semakin menyulitkan pergerakan pasukan TNI dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dimana salah satu hasil perundingan itu menyebutkan bahwa pasukan TNI yang ada di Jawa Barat harus dipindahkan dari daerah yang notabene dikuasai oleh Belanda ke daerah yang hanya dikuasai oleh pihak Indonesia. Akhirnya, semua pasukan TNI yang ada di Jawa Barat harus pindah ke daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Termasuk pasukan TNI yang berada di Kuningan harus pindah mengikuti hasil dari perundingan tersebut. Pasukan yang berada di Kuningan Selatan dan Timur berduyun-duyun menuju desa Ciwaru. Dari desa Ciwaru lantas mereka menuju keresidenan Cirebon dan kemudian menuju Yogyakarta. Untuk pasukan TNI yang berada di Kuningan Barat dan Utara titik kumpul berada di Kuningan kota menuju Cirebon lantas menuju Yogyakarta.
Baca juga:
Opini: Kuningan dalam bayang-bayang kapitalis?
Namun tidak semua pasukan TNI yang berada di daerah Kuningan ikut pindah ke Yogyakarta. Letkol Abimanyu menginstruksikan kepada sebagian pasukan tentara pelajar Batalyon 400 dan laskar wanita Indonesia untuk menetap di daerah Kuningan. Tentara pelajar Batalyon 400 dan laskar wanita itu ditugaskan untuk memantau situasi dan memperhatikan masyarakat agar tidak terbawa arus pihak Belanda. Sembari menjalankan tugas mereka pun berusaha menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Belanda.
Keberhasilan pihak Belanda menduduki desa Ciwaru pada tahun 1948 semakin mempersempit dan mempersulit gerak dari para pejuang kemerdekaan. Pihak-pihak Belanda sering melakukan patroli guna memperhatikan aktivitas masyarakat dalam kesehariannya. Namun, para pejuang tidak tinggal diam--mereka selalu memikirkan cara untuk menembus kekuatan pertahanan yang dimiliki Belanda. Semakin ketatnya pantauan yang dilakukan oleh Belanda di desa Ciwaru para pejuang tidak kehabisan akal mereka melakukan strategi dan taktik baru.
Strategi dan taktik baru itu diakselerasikan salah satunya oleh para pelajar sebagai pengantar logistik ke setiap pintu pertahanan para pejuang Indosneia yang ada di desa Ciwaru. Dalam aksinya mereka (Pelajar) akan berpura-pura menjadi pedagang makanan secara keliling. Pihak Belanda tidak curiga dengan aksi mereka. Pihak Belanda beranggapan bahwa mereka hanyalah pedagang biasa yang tidak membahayakan.
Baca juga:
Mereka juga ditugaskan untuk bermain ke markas Belanda yang memiliki tujuan untuk mengambil amunisi atau peluru yang disembunyikan ke dalam roti yang dibawa. Setelah berhasil menyembunyikan peluru maka mereka akan memberikan peluru-peluru itu ke para pejuang. Mengenai hal ini, saya teringat betul cerita Kakek saya yang berada di Garawangi pernah mengambil peluru dari Belanda.
"Dulu, Kakek suka diperintah oleh tentara Indonesia untuk bermain di markas Belanda yang berada di Garawangi. Kakek bersama adik bermain di markas Belanda. Kadang ngobrol sama tentara Belanda. Kadang juga suka disuruh buat mengelap tembakan milik tentara Belanda. Jika kira-kira situasi sepi barulah Kakek 'ngendongan' beberapa peluru. Setelah bersih, Kakek suka dikasih roti". Kata Kakek saya yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Posting Komentar