Ad Under Header
Parallax Ad

Seperti kota mati pernah terjadi di masa lalu Kuningan

"Seperti kota mati" pernah terjadi di masa lalu Kuningan
Foto: Ramdan Pecinta Motor Klasik
(Teu di ical)

Gegap gempita kian menyusut setelah pemerintah kabupaten Kuningan mengetuk palu untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam upaya mencegah penyebaran the covid 19 ini. PSBB merupakan jalan ikhtiar yang harus dilakukan oleh umat manusia setelah berdo'a. Namun dalam kenyataan di dunia nyata banyak masyarakat mengeluh terutama para pedagang yang notabene menghasilkan pendapatan di lapangan. 

Dampak dari PSBB ini sangat beragam sekali terutama sepinya jalanan dari lalu-lalang kendaraan. Menyusutnya kendaraan di jalanan membuat udara semakin sejuk--kita rasakan. Misal di DKI Jakarta, yang di lansir dari okezone.com bahwa selama pemberlakuan PSBB di Jakarta udara sejuk dan langit cerah karena memang berkurangnya volume kendaraan di sana. Hal ini mengartikan bahwa adanya kendaraan hanya memperburuk kualitas udara saja. 

Sama halnya di kabupaten Kuningan. Ketika matahari terbenam di ufuk barat--PSBB kian digelar secara rentak. "Bleeeng" suasana sepi dan sunyi dari teriak manusia, knalpot, suara klakson dan hal-hal lain yang dapat mengusik. Sesekali manusia butuh sendiri. Butuh sepi dan sunyi. Saya tidak bisa menjelaskan secara rinci ketenangan yang saya rasakan kali ini--garis besarnya seperti berada di atas ketinggian bersama dengan gemerlapnya gemintang dan udara sejuk yang secara perlahan memeluk. Saking sepinya di jalanan, klakson motor yang entah berada di jalan mana terdengar samar. 

"Nyaris seperti kota mati" begitu kata orang-orang bilang. 

"Seperti kota mati" nya kali ini di kabupaten Kuningan mengantarkan sebuah ketenangan ke dalam hati. Berbeda dengan zaman dulu, dimana "Seperti kota mati" nya mengantarkan kegetiran dan ketegangan di tengah gulita. Hanya ada satu cahaya itu pun hanya sebuah api mungil yang bersandar di dinding. 

Anak-anak yang sedang asyik-asyiknya bermain tiba-tiba dibungkam dengan bisikkan "Belanda datang". Suara riuh mobil terdengar ditambah beberapa tembakkan yang menggelegar. Semua jiwa bersembunyi di dalam rumah. Api mungil itu ditiup bukan untuk sebuah perayaan ulang tahun melainkan sebuah ketakutan yang menyelinap di tengah malam. 

Larangan "Jangan menangis" bukan karena benci keberisikan melainkan sebuah kasih sayang atas nama keamanan dan keselamatan dari tajamnya butir-butir peluru yang panas. 

Desing peluru setiap saat terdengar mengartikan bahwa 'aman' belum juga bersandar. Kala itu ikhtiar "Diam di rumah" adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan. Tidak ada 'keras kepala' seperti sekarang. Tidak ada orang yang 'so kuat' yang mengikat. 

Baca juga:

"Kamu mah enak hidup di zaman sekarang. Listrik ada, teknologi maju dan semuanya serba mudah. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak bahagia (Bersyukur)". Kata kakek saya yang diceritakan beberapa tahun ke belakang. 

Posting Komentar