Akibat dari perbedaan penafsiran yang semakin memanas antara pihak Belanda dan Indonesia mengenai isi perundingan Linggarjati. Belanda kembali melakukan agresi militer Pada tanggal 21 Juli 1947 ke wilayah Indonesia dari berbagai arah. Untuk wilayah Jawa Barat, Belanda memulai serangan ke wilayah Keresidenan Cirebon dengan kekuatan 2 batalyon artileri medan, 1 skuadron tank, 1 kompi zeni lapangan, 1 skuadron panser dan kekuatan bantuan lainnya (Soetanto, 2007).
Pasukan ini dipimpin oleh Mayor Van Santen dari KNIL yang dibantu oleh pasukan udara dari Divisi 7 Desember terus bergerak maju memaksa masuk ke jantung pertahanan militer Keresidenan Cirebon. Dengan kekuatan yang cukup besar ini, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah diantaranya: Tomo, Majalengka, kadipaten dan kota Cirebon.
Kekuatan dari agresi militer 1 yang dilakukan oleh Belanda tidak berhasil dibendung oleh pasukan Siliwangi. Mereka (Pasukan siliwangi) semakin terhimpit-terdesak bahkan tidak karuan dan tercerai berai. Penggempuran yang dilakukan oleh militer Belanda selama dua hari berturut-turut ini membuat terganggunya dan melemahnya aktvitas di Cirebon.
Melihat kondisi yang tidak karuan ini, pada tahun 1947, Dewan Perwakiran Daerah (DPD) Keresidenan Cirebon dan pimpinan Bridge V/SGD Divisi Siliwangi menggelar meja bundar untuk menentukan kira-kira wilayah yang aman untuk digunakan pengungsian darurat ibu kota Keresidenan Cirebon dari mulai aktivitas pemerintahannya dan aktivitas kemiliterannya.
Kita ketahui, dari ketiga wilayah yang berada di bawah kekuasan Keresidenan Cirebon; Majalengka, Indramayu dan Kuningan masuk ke dalam daftar pilihan. Setelah beberapa waktu menggelar meja bundar dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan yang matang dipilihlah daerah Kuningan sebagai tempat untuk digunakan dalam pengungsian darurat agar terhindar dari jangkauan militer Belanda.
Di pilihnya kabupaten Kuningan sebagai tempat pengungsian ibu kota Keresiden Cirebon tidak begitu saja menemukan hasil yang tepat. Sebelumnya, setelah dari tiga wilayah itu masuk dalam pilihan dan dipilihlah wilayah Kuningan, rupanya ada dua tempat di kabupaten yang menjadi bahan pertimbangan yaitu desa Mandirancan dan desa Ciwaru.
Pelaku musyawarah kembali lagi memusatkan pikirannya untuk menganalisa tempat yang akan dipilih antara desa Mandirancan dan desa Ciwaru. Setelah mempertimbangkan dan menganalisa dengan cermat dipilihlah desa Ciwaru sebagai tempat pengungsian. Alasan tidak memilih desa Mandirancan karena letak geografisnya yang dekat dengan wilayah Cirebon sehingga hal ini dikhawatirkan dan ditakutkan—tentara Belanda dapat mudah menemukan pengungsian tersebut.
Baca juga:
Alasan kenapa memilih desa Ciwaru sebagai tempat pengungsian adalah karena desa Ciwaru menurut letak geografis jauh sekali dengan wilayah Cirebon. Bukan hanya jauh, kala itu, Ciwaru dan sekitarnya masih merupakan belantara-belantara lebat sehingga hal ini dapat menyulitkan tentara Belanda menemukan aktivitas keresidenan Cirebon dalam pengungsian di desa Ciwaru.
Posting Komentar