Kita mengingat masa kecil itu indah. Bahkan, ditengah himpitan masalah yang datang bertubi-tubi, kita pengin kembali lagi ke masa kecil "Dimana masalah tersulit hanyalah tidak diberi uang jajan oleh orangtua" ungkap khalayak. Menginjak dewasa beban hidup semakin bertambah: pekerjaan sulit, tugas kuliah menumpuk, dan mungkin pertanyaan "kapan nikah" kian menghampiri. Bagi orang yang sudah berumah tangga: "Yah, beras habis", "Yah, minta uang jajan", "Yah, uang bulanan habis", "Yah, uang buat bayar semesteran". Duh! ruwet. *Menepuk jidat.
Masa kecil sudah menjadi masa lalu. Kita tidak bisa kembali lagi, hanya mengenang pada setiap momen-momen tertentu.
Penulis hendak menyelami masa lalu. Setiap hari Minggu, Penulis bersama teman-teman biasa bermain sepak bola di kebun. Di Kampung, jika bermain sepak bola dengan anak-anak luar kampung disebut met. Mungkin, kata "Met" merupakan sebuah gejala hiperkorek atau proses penyempurnaan kata dari kata yang berbahasa Inggris yaitu Meet (Bertemu). Entahlah, diksi ini tiba-tiba saja muncul dalam dunia anak-anak dulu.
Kaki berdarah terkena pecahan piring, memar-memar, dan baju, wajah kotor dirasa biasa-biasa saja kala itu. Anak-anak kegirangan dalam permainan sampai melupakan: pulang, makan, dan waktu magrib tiba. Menginjak usia dewasa ini, Penulis hendak mengeksistensikan kembali dunia masa lalu, tetapi rasanya berat. Meski pun Penulis memaksakan melakukan kembali dengan harapan mengundang masa-masa itu, tidak bisa. Rupanya, "Rasa" itu hanya ada satu kali yaitu pada masa kecil saja.
Kemudian, apabila bermain sepak bola dirasa bosan, Penulis bersama teman-teman dulu menghidupkan kembali permainan: Seletokan, layang-layang, jangkrik, kelereng, dan main gambar. Dari kesemua permainan itu memiliki masanya atau musim. Rupanya, anak-anak sudah mampu membedakan budaya patriarki dan fenimisme. Dulu, kalau ada anak perempuan yang bermain layang-layang, orang-orang dewasa dan teman sebayanya akan menganggap aneh.
Entah! darimana anak mulai mengerti hal demikian. Ah, mungkin dari kebiasaan orangtua.
Anak perempuan memiliki permainannya sendiri: berbie, bola bekel, karet, dan masak-masakan. Ketika bermain anak perempuan lebih terlihat rapi, bersih, dan tersusun. Berbeda dengan anak laki-laki, sekotor apapun, sebahaya apapun, dan sekalut apapun jika yang dimainkannya mengundang bahagia mereka akan melakukannya.
Apalagi, ketika musim layang-layang. Di sawah, anak-anak berkumpul menyaksikan pertarungan sengit antara layang-layang yang bercorak dua garis lurus dan setengah lingkaran. Hal yang paling membahagiakan pada saat musim layang-layang adalah tatkala melakukan pengejaran layang-layang yang lepas dalam pertarungan. Mereka tahu bahwa harga layang-layang itu tidak seberapa, tetapi bukan harganya melainkan proses pengejarannya.
Biasanya ada dua kelompok, dari dua kelompok itu akan berlomba-lomba mendapatkan layang-layang yang lepas. Siapa yang paling cepat ia akan mendapatkannya, kira-kira begitu.
Anak-anak kala itu tidak mengerti internet, kuota, dan game online. Permainannya pun offline: seletokan, gambaran, engklek, papanggalan (gangsing), karet, berbie, dan masak-masakan. Kini, anak-anak terasa berbeda. Begitu
Penulis hendak menyelami masa lalu. Setiap hari Minggu, Penulis bersama teman-teman biasa bermain sepak bola di kebun. Di Kampung, jika bermain sepak bola dengan anak-anak luar kampung disebut met. Mungkin, kata "Met" merupakan sebuah gejala hiperkorek atau proses penyempurnaan kata dari kata yang berbahasa Inggris yaitu Meet (Bertemu). Entahlah, diksi ini tiba-tiba saja muncul dalam dunia anak-anak dulu.
Kaki berdarah terkena pecahan piring, memar-memar, dan baju, wajah kotor dirasa biasa-biasa saja kala itu. Anak-anak kegirangan dalam permainan sampai melupakan: pulang, makan, dan waktu magrib tiba. Menginjak usia dewasa ini, Penulis hendak mengeksistensikan kembali dunia masa lalu, tetapi rasanya berat. Meski pun Penulis memaksakan melakukan kembali dengan harapan mengundang masa-masa itu, tidak bisa. Rupanya, "Rasa" itu hanya ada satu kali yaitu pada masa kecil saja.
Kemudian, apabila bermain sepak bola dirasa bosan, Penulis bersama teman-teman dulu menghidupkan kembali permainan: Seletokan, layang-layang, jangkrik, kelereng, dan main gambar. Dari kesemua permainan itu memiliki masanya atau musim. Rupanya, anak-anak sudah mampu membedakan budaya patriarki dan fenimisme. Dulu, kalau ada anak perempuan yang bermain layang-layang, orang-orang dewasa dan teman sebayanya akan menganggap aneh.
Entah! darimana anak mulai mengerti hal demikian. Ah, mungkin dari kebiasaan orangtua.
Anak perempuan memiliki permainannya sendiri: berbie, bola bekel, karet, dan masak-masakan. Ketika bermain anak perempuan lebih terlihat rapi, bersih, dan tersusun. Berbeda dengan anak laki-laki, sekotor apapun, sebahaya apapun, dan sekalut apapun jika yang dimainkannya mengundang bahagia mereka akan melakukannya.
Apalagi, ketika musim layang-layang. Di sawah, anak-anak berkumpul menyaksikan pertarungan sengit antara layang-layang yang bercorak dua garis lurus dan setengah lingkaran. Hal yang paling membahagiakan pada saat musim layang-layang adalah tatkala melakukan pengejaran layang-layang yang lepas dalam pertarungan. Mereka tahu bahwa harga layang-layang itu tidak seberapa, tetapi bukan harganya melainkan proses pengejarannya.
Biasanya ada dua kelompok, dari dua kelompok itu akan berlomba-lomba mendapatkan layang-layang yang lepas. Siapa yang paling cepat ia akan mendapatkannya, kira-kira begitu.
Anak-anak kala itu tidak mengerti internet, kuota, dan game online. Permainannya pun offline: seletokan, gambaran, engklek, papanggalan (gangsing), karet, berbie, dan masak-masakan. Kini, anak-anak terasa berbeda. Begitu
Posting Komentar