Sejak SD penulis tidak mengetahui bahwa besar nanti akan menggeluti dunia tulis-menulis seperti sekarang ini. Sejak SD pula, penulis mulai mengetahui tradisi perelek yang dilakukan oleh sekumpulan pemuda yang dinahkodai oleh Pak RT. Kala itu, penulis teringat betul, bersama teman-teman membuntuti orang-orang dewasa mengambil beras di sebuah wadah kecil yang ditempelkan di dinding-dinding rumah warga.
Wadah kecilnya pun beragam: bekas air minum gelas plastik, bambu, bekas celengan dan bekas air minum botol. Kala itu penulis beranggapan bahwa beras yang diambil itu akan digunakan untuk mayoran besar masyarakat, namun bukan. Kata Pak RT, "Beras ini akan digunakan untuk membantu, dijual untuk perbaikan pos atau untuk acara 17 Agustusan. Dan, cadangan bilamana musim kemarau tiba (Paceklik)".
"Itu yang sebenarnya. Namun, biasanya, kita akan mengadakan beas perelek tatkala di desa sudah terjadi kejahatan (Pencurian)".
Penulis menginjak usia dewasa yang masih kalang-kabut memikirkan masa depan apalagi menikah--mulai mengerti dan bertanya "Kenapa pada masa pandemi ini di desa-desa tidak ada yang melakukan tradisi perelek yang konon sudah berjalan sejak dulu?". Tradisi ini seakan telah hilang ditelan zaman. Mungkin, hanya ada satu-dua-tiga desa saja yang masih mengeksistensikan tradisi ini, tetapi tidak dipublikasikan ke publik: seperti pemberian bansos di sepanjang jalan.
Penulis mengutip sebuah jurnal yang ditulis oleh Asep Nugraha, "Perubahan orientasi sumber mata pencaharian menyebabkan jumlah orang Sunda yang berprofesi sebagai petani berkurang, kesatuan anggota masyarakat adat melemah". Hal ini bisa kita lihat sendiri, khususnya di kabupaten Kuningan, anak muda yang tengah mendominasi lebih memilih berdagang, menjadi guru, karyawan, dan bergerak dalam bidang ekonomi kreatif.
Kebanyakan pemuda menganggap hal-hal yang berbau 'tradisional' adalah sesuatu yang 'tabu' jika dilakukan pada zaman teknologi ini. Padahal, esensi daripada beras perelek sama halnya dengan proposal-proposal dan donasi-donasi yang tersebar di jagat media sosial. Hanya saja, beras perelek dilakukan di tiap-tiap desa dan kampung-kampung. Bahkan, hasil daripada beras perek ini dapat membuat mata kita terbelalak jika dilakukan secara tepat dan benar.
Di Purwakarta misalnya, tradisi beras perelek mulai dibudayakan kembali yang diinisiasi oleh Pemkab-nya sejak tahun 2015 silam. Dilansir dari Tribunews (8/8/2017), "Program beras perelek di Purwakarta mampu menghimpun dana sebesar 486 juta lebih".
Seperti yang dilakukan di desa Berdaya Kertajaya, kecamatan Lakbok, Ciamis. Berawal dari Relawan Inspirasi Rumah Zakat yang berembuk dengan tokoh-tokoh masyarakat dalam misi membantu masyarakat yang terkena dampak virus corona. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menghidupkan kembali beras perelek yang mulai kehilangan eksistensinya. Hasil daripada beras perelek mereka bagikan kepada masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi.
Dalam misi menuntaskan permasalahan, orang-orang dulu melakukannya secara sederhana, tidak rapat di tempat-tempat hebat. Namun, solusinya bisa diterapkan pada setiap lintas generasi. Begitu
Di Purwakarta misalnya, tradisi beras perelek mulai dibudayakan kembali yang diinisiasi oleh Pemkab-nya sejak tahun 2015 silam. Dilansir dari Tribunews (8/8/2017), "Program beras perelek di Purwakarta mampu menghimpun dana sebesar 486 juta lebih".
Seperti yang dilakukan di desa Berdaya Kertajaya, kecamatan Lakbok, Ciamis. Berawal dari Relawan Inspirasi Rumah Zakat yang berembuk dengan tokoh-tokoh masyarakat dalam misi membantu masyarakat yang terkena dampak virus corona. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menghidupkan kembali beras perelek yang mulai kehilangan eksistensinya. Hasil daripada beras perelek mereka bagikan kepada masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi.
Dalam misi menuntaskan permasalahan, orang-orang dulu melakukannya secara sederhana, tidak rapat di tempat-tempat hebat. Namun, solusinya bisa diterapkan pada setiap lintas generasi. Begitu
Posting Komentar