Pagi. Pagi sekali Penulis disuguhkan ceramah-ceramah melalui pelbagai jejaring sosial media; ada yang bertemakan rezeki, dosa-dosa, dan kebanyakan yang bertemakan wanita. Penulis kemudian membacanya satu-satu, tetapi juga kadang penulis mendengarkan video dan suara ceramah yang diunggah oleh beberapa akun yang memiliki nama samaran.
Pada setiap zaman, berdakwah memiliki perbedaan tersendiri. Kita kenal dengan Raja dangdut, Rhoma Irama yang berdakwah melalui seni. Sebelumnya, hal ini pun sudah dilakukan oleh para wali, Sunan Kalijaga misalnya. "Berdakwah" itu kebanyakan menyesuaikan bukan memaksakan. Oh, mungkin sekarang, zamannya berdakwah melalui internet.
Berdakwah melalui tulisan sudah ada sejak dulu, seperti yang dilakukan oleh Buya Hamka, Prof. Quraish Shihab, Gus Dur, dan Ki Umbara. Selain Ki Umbara, pembaca mungkin sudah tahu tentang ketiga tokoh itu. Baiknya, Penulis tidak membahas ulang pada tulisan kali ini. Namun untuk satu tokoh bernama Ki Umbara, Penulis akan mengabarkan--sebab, ia merupakan salah satu tokoh yang lahir di kabupaten Kuningan. Penulis, hendak menyampaikannya untuk diingat.
Penulis kurang pengetahuan. Sebelumnya, Penulis hanya mengenal novel-novel karya Tere Liye, novel Buya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapan Van de Wijck, koran-koran tempo lama, buku-buku Ajip Rosidi, dan buku sejarah yang tersimpan utuh di rak kecil, di kamar. Lusa, penulis hendak membaca dan membeli buku-buku tokoh Kuningan. Namun sebelumnya, penulis akan memperkenalkan pengarang yang lahir di kabupaten Kuningan ini.
Ia bernama H. Wiredja Ranusulaksana salah satu pengarang asal Indonesia yang lahir di Desa Bendungan kabupaten Kuningan pada 10 Juli 1914. Karyanya selalu menggunakan bahasa Sunda, namun ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia. "Tetapi ceritanya jauh lebih hidup jika ditulis dalam bahasa Sunda". Begitu ungkap buku yang berjudul Apa Siapa Orang Sunda.
Ki Umbara menjadikan pesantren sebagai sumber perenungan dan kedamaian batin dalam menulis karya-karyanya. Seperti buku yang berjudul Pahlawan-pahlawan ti Pasantren (1966), Singa Allah (1967), dan Nu Tareuneung (1968). Sebagai orang yang lahir di tanah Pasundan, sehingga ia akrab dengan alam pikiran atau kebiasaan orang-orang Sunda yang masih percaya dengan adanya tempat-tempat mistis, setan, jurig jeung sajabana. "Cerita-cerita Ki Umbara meneruskan tradisi sastra lama". Kata Ajip Rosidi penulis asal Majalengka.
Tahun 1933, Ki Umbara menyelami pendidikan di Normalschool, Serang, Banten. Setelah lulus, ia melanjutkan sekolah keguruan di sekolah guru A (SGA) pada tahun 1954. Kepiawaiannya dalam menggambarkan suasana batin masyarakat Sunda, yang lekat dengan hal-hal berbau mistis, telah ia tuangkan ke dalam karya-karyanya yang berjudul Teu Tulus Paeh Nundutan (1966) dan Diwadalkeun ku Siluman (1965).
Penggambaran suasana pesantren pun kerap menjadi latar belakang terciptanya karya-karya seorang Ki Umbara. Meski pun tidak ada sumber data mengenai kehidupannya selama di pesantren, tetapi penggambarannya tentang pesantren seakan-akan ia pernah dan berasal dari pondok pesantren. "Ki Umbara pendukung sastra dakwah Islamiyah". Sebut Ajip Rosidi. Begitu.
Penulis kurang pengetahuan. Sebelumnya, Penulis hanya mengenal novel-novel karya Tere Liye, novel Buya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapan Van de Wijck, koran-koran tempo lama, buku-buku Ajip Rosidi, dan buku sejarah yang tersimpan utuh di rak kecil, di kamar. Lusa, penulis hendak membaca dan membeli buku-buku tokoh Kuningan. Namun sebelumnya, penulis akan memperkenalkan pengarang yang lahir di kabupaten Kuningan ini.
Ia bernama H. Wiredja Ranusulaksana salah satu pengarang asal Indonesia yang lahir di Desa Bendungan kabupaten Kuningan pada 10 Juli 1914. Karyanya selalu menggunakan bahasa Sunda, namun ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia. "Tetapi ceritanya jauh lebih hidup jika ditulis dalam bahasa Sunda". Begitu ungkap buku yang berjudul Apa Siapa Orang Sunda.
Ki Umbara menjadikan pesantren sebagai sumber perenungan dan kedamaian batin dalam menulis karya-karyanya. Seperti buku yang berjudul Pahlawan-pahlawan ti Pasantren (1966), Singa Allah (1967), dan Nu Tareuneung (1968). Sebagai orang yang lahir di tanah Pasundan, sehingga ia akrab dengan alam pikiran atau kebiasaan orang-orang Sunda yang masih percaya dengan adanya tempat-tempat mistis, setan, jurig jeung sajabana. "Cerita-cerita Ki Umbara meneruskan tradisi sastra lama". Kata Ajip Rosidi penulis asal Majalengka.
Tahun 1933, Ki Umbara menyelami pendidikan di Normalschool, Serang, Banten. Setelah lulus, ia melanjutkan sekolah keguruan di sekolah guru A (SGA) pada tahun 1954. Kepiawaiannya dalam menggambarkan suasana batin masyarakat Sunda, yang lekat dengan hal-hal berbau mistis, telah ia tuangkan ke dalam karya-karyanya yang berjudul Teu Tulus Paeh Nundutan (1966) dan Diwadalkeun ku Siluman (1965).
Penggambaran suasana pesantren pun kerap menjadi latar belakang terciptanya karya-karya seorang Ki Umbara. Meski pun tidak ada sumber data mengenai kehidupannya selama di pesantren, tetapi penggambarannya tentang pesantren seakan-akan ia pernah dan berasal dari pondok pesantren. "Ki Umbara pendukung sastra dakwah Islamiyah". Sebut Ajip Rosidi. Begitu.
Posting Komentar