Pendiri Silat Perisai Diri. Raden Mas Soebandiman Dirdjotmodjo. |
Beliau bernama lengkap Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo atau lebih dikenal dengan nama Pak Dirdjo. Salah seorang putra dari Raden Mas Pakoe Soedirdjo (Buyut dari Paku Alam II) yang lahir di Yogyakarta pada 8 Januari 1913. Kemahiran bersilatnya telah nampak pada usia 9 tahun. Tak ayal, pada usia itu pula, ia dipercaya untuk melatih teman-temannya di lingkungan Keraton Paku Alaman.
Bukan hanya silat, sejak kecil ia juga mempelajari seni tari dilingkungan istana Keraton bersama dengan temannya: Bagong Kussudiardja seorang koreografer, penari, pelukis dan aktor Indonesia. Penulis pernah membaca koran tempo lama--dulu, anak-anak diajarkan kesenian-kesenian: nari, gendang, angklung, dan pencak. Ada sebuah upaya pengenalan pada budaya-budaya Indonesia yang memiliki tujuan untuk mencari apa yang disenangi oleh anak-anak kala itu. Jika salah satu anak sudah menemukan kesenangannya maka para orangtua akan membiarkannya menggeluti hal tersebut sekaligus mendukung.
Perasaan haus akan ilmu terutama dalam dunia persilatan membuat dirinya bertekad dan memberanikan diri untuk mencari ilmu ke pelbagai tempat. Niat dan tekad bulatnya ini ia lakukan setamat dari HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) atau Sekola Guru Bantu (SBG). Selang beberapa waktu, ia mengutarakan maksudnya kepada orangtuanya untuk mencari dan memperdalam ilmu silat. Setelah mendapat restu dari orangtuanya, lantas ia mulai meninggalkan tanah kelahirannya yaitu Yogyakarta. Hal yang membuat salut penulis adalah tatkala ia pergi merantau, meskipun ia salah seorang anak dari keluarga keraton yang notabene memiliki harta, tetapi ia, sepeser pun tidak meminta dan membawa bekal untuk bertahan hidup dalam misinya.
Jombang, Jawa Timur adalah daerah yang pertama kali ia singgahi. Di sini, ia melakukan tiga aktivitas sekaligus: pertama, ia belajar silat kepada KH. Hasan Basri. Kedua, ia belajar agama di Pesantren Tebuireng. Dan, ketiga, karena merantau tanpa bekal sepeser pun, ia bekerja di pabrik gula Peterongan untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Setelah dirasa cukup dengan apa yang telah dipejarinya. Kemudian, ia berangkat ke Solo dan belajar silat kepada Sayid Sahab. Selama di Solo ia juga belajar ilmu kanuragan kepada Kakeknya yaitu Ki Jogosurasmo. Dulu, ilmu kanuragan sangat penting dimiliki oleh penduduk pribumi mengingat bagaimana bengis dan sadisnya penjajah kala itu. Sekarang, lebih penting mempelajari ilmu: agama, sejarah, komputer, hukum, dokter, politik, bisnis, dan lain sebagainya.
Setelah beberapa waktu belajar silat di Solo, nampaknya, Pak Dirdjo belum puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya. Kemudian ia menuju Semarang dan bertemu dengan Soegito dengan aliran silatnya bernama Setia Saudara. Setelah rampung mempelajari silat Setia Saudara, di Semarang pula ia belajar Kanuragan di Pondok Randu Gunting. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Dua jenis dahaga yang tidak akan kenyang: haus ilmu dan harta". Ternyata benar, setelah mempalajari silat di Semarang, Pak Dirdjo melanjutkan kembali perjalanannya ke tanah Pasundan. Di tanah Pasundan ini, tempat yang pertama kali ia singgahi adalah kabupaten Kuningan lalu menuju Cirebon. Ke dua tempat inilah Pak Dirdjo mengabadikannya pada dua teknik: Supit kuda kuningan dan supit udang.
Bahkan, teknik Kuda Kuningan dijadikan menjadi teknik asli Perisai Diri. Teknik ini banyak dijadikan senjata oleh atlit-atlit semua perguruan di arena gelanggang/pertandingan. Teknik yang sulit ditebak oleh lawan dan sulit di hindari. Sebab, teknik ini berupa sebuah kuncian dengan menggunakan kedua kaki yang dimaksudkan untuk menjatuhkan/mengunci badan lawan sehingga lawan tidak dapat berkutik. Penulis pernah belajar teknik ini, menurut penulis, cara agar lebih cepat melakukannya adalah dengan memfokuskan konsentrasi pada kaki semata. Biarkan badan mengikuti arah kaki. Kiranya ini seperti berjalan biasa hanya saja dilakukan sembari melompat.
Apalagi guntingan depan/supit udang/supit urang yang tengah digandrungi oleh atlit-atlit di atas arena pertandingan atau gelanggang. Teknik asli PD ini banyak digunakan oleh pelbagai perguruan untuk mendapatkan poin tatkala bertanding.
Bukan hanya silat, sejak kecil ia juga mempelajari seni tari dilingkungan istana Keraton bersama dengan temannya: Bagong Kussudiardja seorang koreografer, penari, pelukis dan aktor Indonesia. Penulis pernah membaca koran tempo lama--dulu, anak-anak diajarkan kesenian-kesenian: nari, gendang, angklung, dan pencak. Ada sebuah upaya pengenalan pada budaya-budaya Indonesia yang memiliki tujuan untuk mencari apa yang disenangi oleh anak-anak kala itu. Jika salah satu anak sudah menemukan kesenangannya maka para orangtua akan membiarkannya menggeluti hal tersebut sekaligus mendukung.
Perasaan haus akan ilmu terutama dalam dunia persilatan membuat dirinya bertekad dan memberanikan diri untuk mencari ilmu ke pelbagai tempat. Niat dan tekad bulatnya ini ia lakukan setamat dari HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) atau Sekola Guru Bantu (SBG). Selang beberapa waktu, ia mengutarakan maksudnya kepada orangtuanya untuk mencari dan memperdalam ilmu silat. Setelah mendapat restu dari orangtuanya, lantas ia mulai meninggalkan tanah kelahirannya yaitu Yogyakarta. Hal yang membuat salut penulis adalah tatkala ia pergi merantau, meskipun ia salah seorang anak dari keluarga keraton yang notabene memiliki harta, tetapi ia, sepeser pun tidak meminta dan membawa bekal untuk bertahan hidup dalam misinya.
Jombang, Jawa Timur adalah daerah yang pertama kali ia singgahi. Di sini, ia melakukan tiga aktivitas sekaligus: pertama, ia belajar silat kepada KH. Hasan Basri. Kedua, ia belajar agama di Pesantren Tebuireng. Dan, ketiga, karena merantau tanpa bekal sepeser pun, ia bekerja di pabrik gula Peterongan untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Setelah dirasa cukup dengan apa yang telah dipejarinya. Kemudian, ia berangkat ke Solo dan belajar silat kepada Sayid Sahab. Selama di Solo ia juga belajar ilmu kanuragan kepada Kakeknya yaitu Ki Jogosurasmo. Dulu, ilmu kanuragan sangat penting dimiliki oleh penduduk pribumi mengingat bagaimana bengis dan sadisnya penjajah kala itu. Sekarang, lebih penting mempelajari ilmu: agama, sejarah, komputer, hukum, dokter, politik, bisnis, dan lain sebagainya.
Setelah beberapa waktu belajar silat di Solo, nampaknya, Pak Dirdjo belum puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya. Kemudian ia menuju Semarang dan bertemu dengan Soegito dengan aliran silatnya bernama Setia Saudara. Setelah rampung mempelajari silat Setia Saudara, di Semarang pula ia belajar Kanuragan di Pondok Randu Gunting. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Dua jenis dahaga yang tidak akan kenyang: haus ilmu dan harta". Ternyata benar, setelah mempalajari silat di Semarang, Pak Dirdjo melanjutkan kembali perjalanannya ke tanah Pasundan. Di tanah Pasundan ini, tempat yang pertama kali ia singgahi adalah kabupaten Kuningan lalu menuju Cirebon. Ke dua tempat inilah Pak Dirdjo mengabadikannya pada dua teknik: Supit kuda kuningan dan supit udang.
Bahkan, teknik Kuda Kuningan dijadikan menjadi teknik asli Perisai Diri. Teknik ini banyak dijadikan senjata oleh atlit-atlit semua perguruan di arena gelanggang/pertandingan. Teknik yang sulit ditebak oleh lawan dan sulit di hindari. Sebab, teknik ini berupa sebuah kuncian dengan menggunakan kedua kaki yang dimaksudkan untuk menjatuhkan/mengunci badan lawan sehingga lawan tidak dapat berkutik. Penulis pernah belajar teknik ini, menurut penulis, cara agar lebih cepat melakukannya adalah dengan memfokuskan konsentrasi pada kaki semata. Biarkan badan mengikuti arah kaki. Kiranya ini seperti berjalan biasa hanya saja dilakukan sembari melompat.
Apalagi guntingan depan/supit udang/supit urang yang tengah digandrungi oleh atlit-atlit di atas arena pertandingan atau gelanggang. Teknik asli PD ini banyak digunakan oleh pelbagai perguruan untuk mendapatkan poin tatkala bertanding.
Posting Komentar