Ad Under Header
Parallax Ad

Simfoni Angklung Dalam Perundingan Linggajati

Simfoni Angklung Dalam Perundingan Linggajati

Daeng Soetigna mengubah nada angklung dari yang semula pentatonis (da-mi-na-ti-la) menjadi diatonis (do-di-re-ri-mi-fa-fi-so-la-li-si).

Alunan lembut angklung tersaji mesra dengan beberapa alat lainnya: kendang, gitar bass, dan piano di Universitat Bremen, Jerman. Alat musik yang terbuat dari bambu itu membawakan lagu karya Fahmi Shahab yang berjudul Kopi Dangdut. Para pemain yang tergabung dalam Angklung Hamburg Orchestra sangat lihai menggoyang-goyangkan alat musik yang memiliki dua nada itu. Tak terkecuali para penonton, mereka  nampak kegirangan menyaksikan pertunjukan angklung tersebut. Bahkan, ponselnya pun turut mengabadikan momen yang mungkin bagi mereka langka. 

Sebuah alat musik yang sederhana yang hanya terbuat dari bambu itu telah tertulis di meja UNESCO sejak 18 November 2010. Ya, angklung menjadi salah satu dari 13 warisan budaya dunia asli Indonesia. Bangga? Sangat bangga. Bukan hanya karena sebagai anak Ibu Pertiwi semata. Jika boleh diperinci, melainkan lebih bangga karena angklung modern lahir di kabupaten Kuningan oleh Daeng Soetigna yang terinspirasi dari Ahmad Satari salah seorang ahli pembuat angklung asal desa Citangtu sekaligus kepala desanya, kala itu. 


Jauh sebelum diperdengarkan ke telinga orang Jerman itu, angklung pernah merasakan suasana Perundingan Linggajati pada November 1946. Angklung pernah, mungkin juga yang pertama kali digoyangkan di depan orang-orang asing. Kala itu, Pak Daeng diminta membawa nada-nada angklung ke pendapa Kuningan oleh bupati Moch. Said. Ketika hari pertama perundingan yang hanya berlangsung tiga jam setengah karena macet dan diputuskan rehat, nada-nada angklung yang dibawa untuk dipentaskan di pendapa itu mampu mencairkan yang kaku dan menenangkan yang tegang sekaligus menjadi satu-satunya penghibur pada saat makam malam yang dihadiri oleh para diplomat termasuk Soekarno sendiri. 

Di atas panggung dan di depan orang-orang penting, Pak Daeng membawakan lagu-lagu popular dari ketiga negara: Indonesia, Inggris, dan Belanda dengan gaya medley. Kendati angklung yang semula dimainkan secara instrumentalia lama kelamaan dipadu-padankan juga dengan suara emas yang dimiliki oleh murid-muridnya. Tak dinyana, para hadirin bertepuk riang dan terkagum-kagum menyaksikan pertunjukan yang dibawakan oleh Pak Daeng dan murid-muridnya. Sehingga pada suatu hari, Soekarno meminta pak Daeng untuk membawa nada-nada itu ke istana negara dan dalam acara kenegaraan lainnya. 

Posting Komentar