Awal mula datangnya Divisi Bambu Runcing
Pada 21 Juli 1947 Belanda berhasil memukul mundur tentara Indonesia dalam agresi militer 1 di Jawa Barat yang dimulai dari Jakarta. Dalam agresi militer 1 ini, tentara Indonesia tidak mampu membendung kekuatan Belanda. Melihat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan terus melakukan perlawanan, akhirnya, tentara Indonesia menarik diri ke hutan-hutan seperti yang ada di Cianjur, Sukabumi, dan ada juga yang ke Cirebon.
Mendengar kabar seperti ini, para petinggi militer yang ada di Yogyakarta menganggap bahwasannya divisi Siliwangi telah hancur dan mengangkat tangan kepada Belanda. Sutan Akbar, yang merupakan mantan petinggi LRDR (Lasjkar Rakjat Djakarta Raya) memanfaatkan situasi ini untuk meneruskan kembali perjuangan yang dilakukan Divisi Siliwangi yang berada di Jawa Barat.
Kemudian ia menemui dan meyakinkan Jenderal Sudirman bahwasannya meskipun Divisi Siliwangi telah rapuh akan tetapi laskar-laskar yang ada di Jawa Barat masih berjalan secara lancar dan efektif. Setelah izin itu keluar dari Jenderal Sudirman, Sutan Akbar mulai membentuk pasukan yang diberi nama "Divisi Bambu Runcing".
"...Divisi Pasukan Bambu Runcing telah berstatus resmi sebagai satuan baru pada akhir Juli tahun 1947" (Fachrudin, 1994: 34). Kemudian, Sutan Akbar mulai mengirimkan pasukan-pasukan ke pelbagai tempat di Jawa Barat. Menurut Harry A. Poeza dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3, pasukan itu dikirim ke Banten-Bridge A yang dipimpin oleh Achmad Chatib, Bogor-Bridge B dipimpin oleh Waloejo dan Armansjah, Tasikmalaya-Bridge C dipimpin oleh Wahidin Nasution, Priangan Timur-Bridge D dipimpin oleh Achmad Astrawinata, dan Cirebon-Bridge E ditugaskan di Ciwaru dan dipimpin oleh Sastrosoewirjo dan Maulana. Bridge yang ditugaskan di Ciwaru merupakan yang terkuat. Sutan Akbar bergabung di Bridge ini.
Bridge E merupakan satuan terkuat
Di antara kelima pasukan yang disebarkan ke pelosok Jawa Barat untuk membantu pasukan Siliwangi yang pada saat itu tengah mengalami kerapuhan akibat agresi militer 1 yang dilakukan oleh Belanda di Jawa Barat. Pasukan Bridge E dibawah pimpinan Sastrosoewirjo dan Maulana dan sekaligus dipimpin langsung oleh Sutan Akbar merupakan yang terkuat baik secara politis maupun strategi militernya.
"...DBR yang terdapat di Ciwaru merupakan satuan terkuat yang ada di Divisi Bambu Runcing, secara politis maupun strategis militer. Mereka langsung berada di bawah pimpinan Sutan Akbar, dengan Sastrosuwiryo dari Laskar Rakyat Cirebon sebagai kepala stafnya. Kepemimpinan DBR di Ciwaru juga diperkuat oleh Abdul Chamdi dan Achmad Astrawinata, yang pernah aktif di dalam LRDR." (Fachrudin, 1994:41).
Kenapa satuan terkuat harus dikirim ke Ciwaru?
Hal ini diungkapkan langsung oleh A.H Nasution dalam bukunya:
"Divisi Bambu Runcing itu menempati daerah Ciwaru yang amat penting artinya, baik strategis maupun politis. Strategis penting, karena di sinilah pintu gerbang dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, jadi stasiun perhubungan divisi ini dengan Yogyakarta. Ini disebabkan keadaan bumi dan karena posisi-posisi musuh memaksa kita berpintu gerbang di sini. Politis sangat penting, karena Residen Hamdani bersama staf pemerintahan sipil juga berada di sini..." (Nasution, 1979:346).
Artinya, Ciwaru menjadi tempat penting bagi Divisi Pasukan Bambu Runcing yang dipimpin Sutan Akbar. Selain letak geografisnya yang strategis tetapi juga terdapat orang-orang penting seperti Hamdani dan staf pemerintahan sipil Cirebon.
Posting Komentar