Sebagai gunung tertinggi di Jawa Barat membuat gunung Ciremai kaya akan keanekaragaman flora dan fauna sebagai penghuninya. Mulai dari bunga edelweiss, pelbagai bunga anggrek, pohon pinus, landak, ayam hutan, pelbagai macam serangga, dan lain sebagainya.
Mana mungkin, kita, sebagai warga asli kabupaten Kuningan tidak mengetahui satu jenis pun kekayaan flora dan fauna yang dimiliki gunung Ciremai. Bahkan, gunung Ciremai pun dihuni oleh hewan dan tumbuhan yang langka dan dilindungi.
Apa sajakah itu?
Inilah 3 para penghuni Ciremai yang dilindungi
Macan Tutul
Foto: Pixabay |
Pasalnya, menurut data tahun 2018, keberadaan macan tutul di gunung Ciremai disinyalir hanya ada tiga ekor saja. Melihat sedikitnya jumlah macan tutul ini apalagi jika sampai punah dikhawatirkan dapat mengganggu ekosistem yang ada di gunung Ciremai, baik bagi kelompok hewan maupun bagi manusia yang ada disekitarnya. Melihat jumlahnya yang sedikit hewan ini sangat dilindungi.
Kenapa 'dikhawatirkan' dapat mengganggu ekosistem?
Perlu diketahui, Macan Tutul di gunung Ciremai memiliki peran utama sebagai predator hewan yang dianggap 'hama' oleh manusia. Seperti monyet dan babi hutan, misalnya. Jika Macan Tutul punah maka dapat dipastikan akan 'meledaknya' populasi monyet dan babi hutan. Mengingat predator sebelumnya yaitu Harimau Jawa telah dinyatakan punah pada tahun 80-an.
Bisa kita katakan bahwa Macan Tutul adalah satu-satunya hewan yang memiliki peran utama dalam rantai makanan yang ada di gunung Ciremai. Peran ini tidak bisa digantikan oleh anjing hutan atau ajag (Cuon Alpinus) dan kucing hutan (Neofelis nebulosa). Bukan karena tidak seganas macan Tutul, hal ini, karena tubuhnya nisbi kecil yang tidak memungkinkan memakan hewan sebesar babi hutan dan kijang (ungulata).
Kenapa kok macan tutul di Ciremai warnanya hitam?
Kita kerap menyebut bahwa kucing besar yang berwarna hitam itu bernama Macan Kumbang dan kita juga beranggapan bahwa macan tutul dan macan kumbang itu berbeda. Namun, merujuk pada dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) 2016 – 2026, variasi warna tubuh yang berwarna hitam tersebut bukanlah spesies yang beda, melainkan spesies yang sama.
Artinya, Slamet Ramadan, yang dilepasliarkan di wilayah TNGC adalah macan tutul bukan macan kumbang. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan pigmen melanistik atau pigmen hitam pada si Slamet Ramadan tersebut.
Kenapa 'dikhawatirkan' dapat mengganggu ekosistem?
Perlu diketahui, Macan Tutul di gunung Ciremai memiliki peran utama sebagai predator hewan yang dianggap 'hama' oleh manusia. Seperti monyet dan babi hutan, misalnya. Jika Macan Tutul punah maka dapat dipastikan akan 'meledaknya' populasi monyet dan babi hutan. Mengingat predator sebelumnya yaitu Harimau Jawa telah dinyatakan punah pada tahun 80-an.
Bisa kita katakan bahwa Macan Tutul adalah satu-satunya hewan yang memiliki peran utama dalam rantai makanan yang ada di gunung Ciremai. Peran ini tidak bisa digantikan oleh anjing hutan atau ajag (Cuon Alpinus) dan kucing hutan (Neofelis nebulosa). Bukan karena tidak seganas macan Tutul, hal ini, karena tubuhnya nisbi kecil yang tidak memungkinkan memakan hewan sebesar babi hutan dan kijang (ungulata).
Kenapa kok macan tutul di Ciremai warnanya hitam?
Kita kerap menyebut bahwa kucing besar yang berwarna hitam itu bernama Macan Kumbang dan kita juga beranggapan bahwa macan tutul dan macan kumbang itu berbeda. Namun, merujuk pada dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) 2016 – 2026, variasi warna tubuh yang berwarna hitam tersebut bukanlah spesies yang beda, melainkan spesies yang sama.
Artinya, Slamet Ramadan, yang dilepasliarkan di wilayah TNGC adalah macan tutul bukan macan kumbang. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan pigmen melanistik atau pigmen hitam pada si Slamet Ramadan tersebut.
Elang Jawa
Melihat populasinya yang tidak banyak dan terancam punah, akibat maraknya perburuan liar yang dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab, maka pemerintah Indonesia menetapkan Elang Jawa sebagai spesies yang dilindungi. Dalam Keppres yang diterbitkan Presiden Soeharto, elang Jawa dikategorikan sebagai satwa langka dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun 2018.
Lambang Negara Indonesia pun, konon, terinspirasi dari burung ini. Lambang Garuda yang dijadikan lambang negara hingga sekarang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak yang sebelumnya telah memenangkan sayembara pada 1950. Hal ini dikarenakan pada masa kolonial dulu burung ini banyak dijumpai di hutan-hutan yang ada pulau Jawa. Dan, hal ini tertuang dalam Keppres Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.
Untuk di gunung Ciremai sendiri menurut data pada tahun 2019 populasi Elang Jawa yang ada di gunung Ciremai kian meningkat dari data 2015 hanya ada 19 ekor bertambah menjadi 29 ekor pada 2019.
Bunga Edelweiss
Foto: Udin (Kontributor). |
Sebagai kawasan yang berstatus Taman Nasional, jika kita mengacu pada UU di atas, berarti tidak hanya bunga edelweiss saja yang dilindungi, hewan-hewan dan tumbuhan lainnya pun jika berada dalam kawasan konservasi 'tidak' diperbolehkan diambil atau dipetik.
Namun, bunga edelweiss memiliki peraturan sendiri tentang 'pelarangan memetik bunga edelweiss' yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Selain dari UU tadi, alasan lain tidak boleh dipetiknya Edelweiss, karena bunga edelweiss untuk bisa mencapai tinggi 20 CM saja membutuhkan waktu kurang-lebih 13 tahun. Jadi, sangat disayangkan jika bunga edelweiss kita petik sembarangan. Sementara, bunga edelweiss dapat mencapai tinggi delapan meter.
Kebayangkan, berapa lama kita harus menunggu edelweiss berbunga kembali.
Posting Komentar