Banjir yang melanda Luragung Tonggoh dan Luragung Landeuh memecah kenyamanan ditengah menikmati lebaran idul fitri. Di hari yang sama, bencana alam juga melanda di sekitar jalan raya Cidahu blok puhun berupa tumbangnya pohon bambu yang disebabkan hujan dan angin kencang. Bencana alam yang sempat menghebohkan jagad media sosial Kuningan ini pun, dua-duanya tidak ada korban jiwa tetapi menimbulkan kerusakan berupa putusnya jalan dan satu rumah warga tertimpa.
Ilustrasi Gambar (Jembatan Putus Cipedes) |
Gempa Bumi tahun 1875, 2003 dan 2013
Keindahan dan kesuburan yang dimiliki Indonesia akibat dari banyaknya jumlah gunung mengakibatkan Indonesia rawan akan terjadinya gempa bumi. Berdasarkan data statistik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) gempa bumi merusak di Indonesia yang terjadi setiap 5 tahun sekali. Kabupaten Kuningan masuk ke salah satu wilayah yang rawan akan terjadinya gempa bumi di darat disebabkan sesar aktif.
Menurut Supartoyo dkk (2014), kabupaten Kuningan setidaknya pernah terjadi gempa bumi yang merusak sebanyak tiga kali. Pertama, gempa bumi terjadi pada 25/10/1875 di daerah Kuningan, Sumedang dan Manonjaya. Gempa bumi ini meyebabkan 7 orang meninggal dunia dan 628 rumah rusak. Kedua, gempa bumi terjadi pada 21/03/2003 di desa Cilimus, Caracas, Sampora, Kaliaren dan Cibeureum kecamatan Cilimus, serta di desa Pangembangan, Trijaya dan Randobawagirang. Gempa yang berkekuatan 4,8 SR ini menimbulkan kerusakan ringan berupa rumah dan bangunan dan ambruknya rumah tua di Caracas.
Ketiga, gempa yang berkekuatan 4,7 SR ini pernah terjadi di daerah Cibereum dan Cibingbin pada 13/07/2013. Gempa yang terjadi di kedalaman 10 KM ini menimbulkan rumah warga mengalami kerusakan ringan dengan genting yang berjatuhan.
Banjir dan longsor tahun 1908
Di lansir dari hasil Tim Penulisan Sejarah Cibingbin Lembaga Kajian Cibening Cibingbin, Kuningan (2004) yang bersumber dari tulisan Bapak E. Taswan dan Bapak E. Sukardjo, menyebutkan pada tahun 1908 telah terjadi bencana banjir besar di daerah Dukuh Gudang, Dukuh Pasantren dan Dukuh Parenca. Di waktu yang sama, bencana alam berupa longsor terjadi di sepanjang pinggir hutan yang mengharuskan warga yang mendiami kampung-kampung di sepanjang pinggir hutan itu berpindah ke lokasi yang lebih aman.
Baca Juga:
Gunung Ciremai: Erupsi dan gempa dari tahun 1698 dan 2019
Perpindahan ini dilakukan oleh kampung yang terkena dampak longsor seperti Dukuh Pangkalan pindah ke Dukuh Girang, Dukuh Parenca pindah ke Cangkuang dan Dukuh Pasantren dan Dukuh Gudang pindah ke Cibingbin dan ke Dukuh Badag. Namun ada juga warga yang pindah ke tanah yang dimilikinya di tempat lain sehingga Wedana Argakusumah membuka perkampungan baru. Perpindahan tempat itu dilakukan guna mengantisipasi terjadinya banjir dan kebanyakan warga memilih dataran tinggi sebagai tempat huniannya. Di bawah pimpinan kakek Arta, perpinbdahan tempat juga terjadi di kampung Nanggela yang sebagian besar penduduknya pindah ke Cisa'at dan ke Dukuh Awi. Kemudian perpindahan tempat juga terjadi di kampung Sumur Bandung sebagian warganya ada yang pindah ke Cibeureum dan Sumurwiru.
Posting Komentar