Foto: IG: Pesona.Cibunihaji.Luragung |
Sore itu, penulis berkunjung ke objek wisata musim panas di desa Luragunglandeuh. Wisata ini sangat unik, karena hanya dibuka tatkala musim panas tiba. Dan, satu-satunya wisata di Kuningan yang memanfaatkan musim panas. Ada rakit, saung dan beberapa kursi. Di tengah sungai, terdapat spot foto berbentuk "Hati".
Menurut penulis, spot foto itulah yang menjadi senjata untuk menarik wisatawan. Apalagi, pada waktu sore--kalian, akan dimanjakan dengan cahaya jingga yang menghiasi sudut semesta sebelah Barat. Namun, menurut sebagian masyarakat yang pernah berkunjung ke sana, alamnya juga menjadi daya tarik tersendiri.
Cibuniasih bermetamorfosis layaknya kupu-kupu. Memberi warna ditengah abu-abu. Memberi terang ditengah gulita. Kita harus menjaga, merawat dan mengabadikan tempat ini untuk anak-cucu kita di masa depan. Dan, katakan "Tidak perlu ke luar kota. Ada surga di sini (Kuningan)".
Bagi penulis, jika mengunjungi salah satu tempat yang ada di kabupaten Kuningan tanpa mengetahui seluk-beluknya, rasanya hambar. Di samping dapat menghapus penat, tempat wisata juga harus memberi manfaat; sejarah, misalnya. Agar pulang ke rumah nanti wisatawan bisa mendapat dua hal: kebahagiaan dan pengetahuan.
Esoknya, penulis berkutat di depan layar 14 inci selama satu jam lamanya. Namun tidak ada satu pun media yang menceritakan "tjerita rakjat" Bunihaji desa Luragunglandeuh. Hampir putus asa dengan pencarian tersebut. Akhirnya, penulis menemukan juga media yang menulis cerita rakyat, tetapi berbahasa Belanda. Begini
"Di Loeragoeng terdapat makam Sunan Panjili". Tulis koran tesebut. "Tokoh pertama yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut". Sambungnya. Nama "Sunan Panjili" terasa asing di telinga Penulis. Begitu pun dengan "Mesin telusur" tidak dapat menemukan hasil yang relevan. Penulis mencoba mencari tentang siapa itu Sunan Panjili dari kalimat "Tokoh pertama yang menyebarkan Islam di daerah Luragung".
Penulis membaca, bahwa islamisasi di daerah Kuningan dilakukan oleh Syekh Maulana Akbar sekitar tahun 1450 Masehi. Dalam perjalanannya, Syekh Maulana Akbar pernah singgah di desa Luragunglandeuh lebih tepatnya di suatu tempat yang biasa disebut Bunihaji. Namun, menurut cerita tradisi masyarakat Syekh Bayanullah atau Syekh Maulana Akbar tidak banyak dikenal. Tokoh yang paling atau sangat dikenal oleh masyarakat adalah Haji Dul Iman (Dasuki dan kawan-kawan (1978:35).
Masyarakat Luragunglandeuh hanya mengenal tokoh yang bernama Haji Dul Iman dan tidak mengenal Syekh Maulana Akbar. Sebab, kedatangan Syekh Maulana Akbar hanya sebentar. Kemudian, Syekh Maulana Akbar mengunjungi dan menetap di daerah Kajene (Kuningan) lebih tepatnya di desa Sidapurna. Hal ini diperjelas oleh Atja dalam bukunya (1986: 176), "bahwa Syekh Maulana Akbar tidak lama menetap di Luragung dan Bunihaji karena telah memeluk agama Islam yang diperkenalkan oleh Haji Dul Iman alias Pangeran Walangsungsang...".
Mungkin "Sunan Panjili" yang ditulis dalam koran Belanda adalah Haji Dul Iman atau Pangeran Walangsungsang. Karena, dari beberapa sumber tulisan maupun lisan (Kang Uce) "Haji Dul Iman" sering disebutkan dan dipercayai sebagai penyebar agama Islam pertama di Bunihaji, Luragung. Atja menambahkan, "Mungkin, tidak semua masyarakat Luragung menganut agama Islam". Hal ini karena ada proses Islamisasi ke dua pada tahun 1470 yang dilakukan oleh salah seorang tokoh bernama Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.
"Suatu ketika". Lanjut koran itu. Ada seorang haji melihat sepucuk surat terjatuh di kuburan. Surat itu tidak langsung ia baca dan langsung dibawa ke rumah. Setiba di rumah, seorang haji itu lantas membacanya secara seksama. Dalam benaknya, bahwa ia tidak boleh membawa dan memberitahukan isi surat yang ia baca.
Namun, dalam hari-harinya ia merasa gelisah jika tidak memberitahu kepada penduduk di sekitarnya. Esoknya, ia menemui penduduk untuk memberitahu bahwa dirinya telah menemukan sepucuk surat di dekat kuburan Sunan Panjili. Surat itu berbahasa Arab "Bissmillahi'rohmani'rohim, Asshadu ala ilaaha illalloh, wa ashadu anna muhammadar rasulloh". Mendengar kabar itu, penduduk percaya bahwa makam itu suci.
Kemudian, seorang haji itu berkata bahwa masyarakat Luragung tidak perlu menunaikan atau berangkat ibadah haji ke Mekkah. Karena, kunjungan ke kuburan Sunan Panjili secara berulang-ulang sama saja dengan berangkat dan menunaikan ibadah haji. Kepercayaan masyarakat atas kesucian makam itu diperkuat oleh salah seorang haji dari Luragung yang meninggal ditengah perjalanan menunaikan ibadah haji dan sebelum meninggal haji itu bersumpah bahwa keturunannya tidak boleh berangkat haji. Lantas penduduk percaya dan tidak berangkat lagi ke Mekkah untuk menunaikan haji.
Asal nama "Bunihaji" berawal dari seorang haji yang menyembunyikan sepucuk surat itu. "Tjiboenihadji" berasal dari "Boeni-adji" (Boeni artinya disembunyikan/menyembunyian, dan "Adji" artinya ilmu/pengetahuan). Begitu
Posting Komentar