Ad Under Header
Parallax Ad

Dua Tokoh Kuningan Yang Diasingkan Pada Zaman Belanda

Dua Tokoh Kuningan Yang Diasingkan Pada Zaman Belanda

Tokoh-tokoh yang berupaya melakukan sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda tidak diberi ruang-gerak sedikitpun. Pemerintah Belanda dengan jeli akan memperhatikan terbentuknya organisasi-organisasi yang diinisiasi oleh putra pribumi. Bahkan, tokoh yang tidak melakukan upaya perlawanan secara fisik pun, tetapi kehadirannya memiliki pengaruh di tengah-tengah masyarakat, akan menjadi sorotan atau bahkan diasingkan dari tanah kelahirannya sendiri.

Jika di kancah nasional ada Soekarno, Cut Nyak Dien, Mohammad Hatta, dan Tan Malaka yang diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Maka di kabupaten Kuningan sendiri ada dua tokoh yang diasingkan oleh Belanda ke tempat nun jauh dari tanah kelahirannya. Dari hasil pengamatan majalahkuningan.com, kedua tokoh ini memiliki pengaruh yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat.
Dua Tokoh Kuningan Yang Diasingkan Oleh Belanda
Eyang Hasan Maolani

Eyang Hasan Maolani

Belanda takut dengan ajaran tariqat syattariyah yang diajarkan oleh Eyang Hasan kepada masyarakat yang dimana ajaran tersebut berfokus untuk memperkuat aqidah. Padahal, Eyang Hasan tidak pernah melakukan perlawanan secara fisik kepada pemerintah kolonial, tetapi pemerintah kolonial memandang ajaran itu dari sudut pandang politik dapat membahayakan keberadaan mereka di tanah air. Melihat ajarannya yang semakin berkembang pesat ke pelbagai daerah, membuat pemerintah kolonial harus melakukan tindakan agar perang seperti yang dilakukan Pangeran Diponegoro tidak terulang kembali.

Akhirnya, pemerintah kolonial menangkap Eyang Hasan Maolani pada 29 Maret 1842. Rupanya, setelah pemerintah kolonial menangkap Eyang Hasan, mereka harus berpikir keras kembali untuk menjauhkan Eyang Hasan dari kunjungan masyarakat yang semakin membludak menengok atau hanya sekadar melihat kabar Eyang Hasan di dalam jeruji. Pemerintah kolonial akhirnya memindah-mindahkan Eyang Hasan Maulani ke pelbagai tempat.

Pertama ia dibawa ke Cirebon dan ditahan selama tiga bulan. Lalu Belanda membawanya ke Batavia dan ditahan kembali selama sembilan bulan. Setelah mendekam di Batavia selama 9 bulan, lalu Eyang Hasan Maolani dibawa ke Ternate dan ke Kaima. Dan berakhir di sebuah tempat di daerah Tondano, Sulawesi Utara.

Eyang Hasan Maolani salah satu anak Ki Bagus Luqman yang memiliki garis keturunan dari Prabu Siliwangi. Ia lahir di desa Lengkong Kecamatan Garawangi pada 21 Mei 1782 M dan meninggal pada 30 April 1874 di pengasingannya. Kemudian, ia di makamkan di Gunung Patar Kempal, Kampung Jawa Kecamatan Tondano kabupaten Minahasa Sulawesi Utara.

Pangeran Sadewa Alibassa Wijaya Ningrat

Seperti yang telah ditulis di artikel sebelumnya, salah satu ajaran pemikiran dari Pangeran Sadewa Alibassa Wijaya Ningrat atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Madrais, membuat pemerintah kolonial 'waswas' dengan kehadirannya ditengah masyarakat. Pasalnya, ajaran pemikiran yang termuat dalam Pikukuh Tilu yaitu Cara ciri bangsa dapat menggugah dan mendorong semangat untuk mencintai dan menjaga lemah cai (Tanah air).

Ajaran tersebut memiliki arti bahwa sesama manusia tidak boleh saling menjajah, karena manusia yang hidup di muka bumi telah diatur Tuhan dengan pelbagai takdirnya. Ajaran ini mengajarkan kita untuk bersyukur dan tidak boleh 'iri' dengan suatu bangsa lainnya serta tidak boleh memiliki sifat 'rakus'. Jika telah ditakdirkan lahir dan bertanah air di bangsa eropa, kenapa harus menjajah bangsa lain yang notabene bukan milik bangsa eropa.

Melihat perkembangan pengikutnya yang semakin meningkat dari pelbagai daerah yang dikhawatirkan akan berdampak terjadinya pembangkangan dan pemberontakan, akhirnya pemerintah kolonial Belanda mengasingkan Pangeran Madrais ke Tanah Merah (Merauke) pada tahun 1901. Selama enam tahun lamanya di tanah pengasingan, pada tahun 1908, Pangeran Madrais dibebaskan dan dibolehkan pulang. Namun, sekembalinya Pangeran Madrais ke Kuningan, ia tidak dibolehkan mengajarkan ajarannya kepada masyarakat. Ia selalu diawasi oleh utusan dari pihak pemerintah kolonial: Yokob, Steepen, Reeles, dan Destra.

Pangeran Sadewa Alibassa Wijaya Ningrat atau Pangeran Sadewa (Madrais) adalah anak dari pasangan Pangeran Alibassa dan Nyi Raden Kastew. Ayah Pangeran Alibassa merupakan putra penguasa kedelapan Gebang yakni Pangeran Sutajaya Upas. Menurut versi pemerintah Belanda, Pangeran Madrais lahir pada 9 Mulud 1859 di desa Susukan, Kecamatan Ciawigebang, Kabupaten Kuningan. Sedangkan menurut versi catatan resmi Paseban Cigugur, Pangeran Madrais lahir pada tahun 1822 di tempat yang sama.

Posting Komentar