Ad Under Header
Parallax Ad

Menilik Perjalanan Kopi di Kuningan

Menilik Perjalanan Kopi di Kuningan

Tempo hari, Wakil Bupati (Wabup) M. Ridho Suganda bersama Ketua DPRD Kuningan Nuzul Rachdy membuka kegiatan pelatihan Barista di Rumah Kopi Linggasana, Desa Linggasana, Kecamatan Cilimus (15/7/2020). Dalam pembukaan acara, M.Ridho mengajak para pengusaha kopi yang berada di kabupaten Kuningan untuk memberdayakan petani kopi Kuningan dengan cara menyajikan kopi lokal di kedainya masing-masing. Sebelumnya, ia juga mengatakan bahwa kopi lokal (Kopi Kuningan) tidak kalah kualitasnya dengan kopi yang berasal dari daerah lain. 

Memang untuk meningkatkan eksistensi kopi lokal bisa kita mulai dengan mencintai produk lokal sendiri. Sebut saja misalnya tempat ngopi bernama Waja Kopi Kuningan. Mereka berhasil mengangkat citra kopi lokal di tingkat nasional. Dengan tagar #ngopidiketinggian membuat para pecinta kopi merasa tertarik untuk berkunjung ke sana. Kendati tempat ngopi tersebut berada di lereng gunung Ciremai, banyak masyarakat dari pelbagai daerah bertandang hanya untuk menikmati secangkir kopi dengan sensasi malam di atas ketinggian.

Lalu bagaimana tumbuhan kopi yang notabene bukan tumbuhan asli Indonesia bisa tumbuh dan berkembang di tanah air ini. Bahkan, sejarah mencatat, Indonesia menjadi penghasil biji kopi terbesar keempat setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Untuk kabupaten Kuningan sendiri menjadi penghasil terbesar pertama diantara Majalengka dan Cirebon pada tahun 1853. 

Perkembangan biji kopi di kabupaten Kuningan tak lepas dari persebaran kopi di pulau Jawa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Khusus di tanah Pasundan penanaman kopi dikenal dengan sebutan Preanger Stelsel atau Sistem Priangan. Melalui sistem inilah tanaman kopi mulai menyebar ke seluruh pelosok tanah Pasundan. Lebih tepatnya pada abad ke 4 atau sekitar tahun 1696. Melalui pemerintahan Belanda, India mengirim bibit kopi yemen ke Indonesia. Di waktu yang sama, di Jakarta (Batavia), bibit kopi yemen gagal dipanen karena banjir. India kembali mengirim bibit kopi ke pemerintah Belanda. Pada pengiriman yang kedua kali ini, bibit kopi berhasil dipanen. Keberhasilan ini membuat Indonesia dikenal penghasil kopi terbesar setelah Arab dan India.

Di Kuningan sendiri, kopi sudah dimulai sejak abad ke 18. Bermula, ketika pemerintah Belanda menanamkan sistem kerja paksa di tatar Pasundan. Tujuannya untuk mengekspor biji kopi ke eropa. Sistem kerja paksa inilah yang kemudian pemerintah kolonial membuka lahan selebar-lebarnya hingga sampailah ke daerah Kuningan. Menurut catatan Junghuhn, di gunung Ciremai terdapat beberapa pohon kopi tapi dirinya tidak menyebutkan secara rinci mengenai kopi dan pabrik kopi di sekitar Ciremai. Namun menurut surat kabar harian "Java Bode", pada tahun 1853, kebun kopi yang ada di Kuningan menghasilkan kopi sebanyak 10.000 pikul pertahun.

Menurut laporan Koloniaal Verslag van Nederlandsch Indie, pada tahun 1896, jumlah masyarakat Kuningan yang terlibat dalam penanaman kopi mencapai 140.510. Jumlah tersebut kian meningkat pada tahun 1900 yakni mencapai 147.167 orang.

Dekade ini, pertumbuhan kedai kopi di kabupaten Kuningan semakin meningkat. Dengan design ruangan yang menyesuaikan gaya hidup anak muda sekarang, mereka hadir menjadi dambaan anak muda. Pasalnya, minum kopi di kedai dan cafe dapat membedakan kelas sosial di mata masyarakat. Perubahan gaya hidup ini dimanfaatkan oleh pemerhati bisnis untuk meraup keuntungannya. 

Posting Komentar