Ad Under Header
Parallax Ad

Gedung Perundingan Linggajati: Semula Bangunan Itu Sebuah Gubuk

Sejarah Bangunan Museum Linggajati
Gedung yang kini berdiri di kaki Gunung Ciremai-Jl. Linggasana, Kec. Cilimus, Kabupaten Kuningan itu dulunya hanya sebuah bangunan gubuk milik Ibu Jasitem (1918). Laiknya kupu-kupu, gubuk itu bermetamorfosis; dari gubuk-hotel-tempat perundingan-markas tentara-sekolah-kini, museum yang terkenang. 

***

Memang benar. Semula, bangunan itu milik seorang janda bernama Jasitem pada tahun 1918. Hidup sendiri di sebuah bangunan yang berada di dekat Gunung Ciremai mungkin tiis ceuli herang mata; sejauh mata memandang hanya melihat rentetan pohon dan rumput-rumput yang hijau; tiada media sosial yang menjadi tekanan; pun kicauan-kicauan para politikus tapi masih ada kicauan burung-burung kecil, di pagi hari.

Sejarah itu dimulai dari sebuah gubuk...

Hingga suatu waktu, mungkin matahari yang diharapkannya, tiba-tiba datanglah seorang lelaki Belanda yang mencintainya. Lantas, seorang lelaki Belanda itu menjadikan Jasitem sebagai istri selirnya. Perkembangan rumah gubuk milik Jasitem dimulai oleh suaminya, Tersana. 

Pada 1921, suami Jasitem merubah rumah gubuk itu menjadi bangunan semi permanen. Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada 1930, rumah semi permanen ini dijual ke orang Belanda bernama Johannes Van Os.

Sejarah Bangunan Museum Linggajati
Foto: IG gedung_naskah

Setelah dijual, menurut majalah Dharmasena (1989), rumah yang kini jadi Gedung Perundingan Linggajati itu diperbesar dan dipermanenkan dan sempat dijadikan tempat tinggal beberapa waktu oleh keluarga Van Os sebelum dikontrak oleh Theo Huitker pada 1935.

Entah melihat peluang cuan atau apa, di tangan Theo, rumah tersebut dijadikan hotel dan diberi nama RUSTOORD. 

Seiring berjalannya waktu, atau lebih tepatnya pada saat Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942, nama hotel dari yang semula berbahasa Belanda diganti dengan nama Hokay Ryokan, bahasa Jepang. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1945 setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, hotel ini diubah namanya menjadi Hotel Merdeka. 

Direkomendasikan oleh Maria Ulfa Santoso, tempat ini dijadikan terselenggaranya perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda yang menghasilkan sebuah keputusan yang dinamakan Naskah Linggarjati. Perundingan Linggarjati sendiri berlangsung pada tanggal 15 November 1946.

Isi Perundingan Linggajati: 

  • Pengakuan status de facto RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera oleh Belanda.
  • Pembentukan negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS).
  • Pembentukan Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala negara.
  • Pembentukan RIS dan Uni Indonesia-Belanda sebelum 1 Januari 1949.

Tokoh atau perwakilan dalam Perundingan Linggajati:

  • Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir.
  • Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn.
  • Penengah adalah Lord Killearn dari Inggris.
Rupanya, pemerintah Belanda mengkhianati perjanjian yang telah disepakati. Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer II ke wilayah Indonesia dari pelbagai arah. Untuk wilayah Jawa Barat, Belanda memulai serangan ke wilayah Keresidenan Cirebon dengan kekuatan 2 batalyon artileri medan, 1 skuadron tank, 1 kompi zeni lapangan, 1 skuadron panser dan kekuatan bantuan lainnya (Soetanto, 2007). 

Sejarah Bangunan Museum Linggajati
Foto: IG gedung_naskah

Semenjak agresi militer Belanda ke II, pada 1948 sampai dengan 1950 bangunan ini dijadikan markas tentara Belanda. Seiring berjalannya waktu, permasalahan dengan Belanda pun akhirnya dapat diselesaikan. Status bangunan ini pun berubah menjadi Sekolah Dasar Negeri Linggajati pada 1950 hingga 1975. 

Sebelum dijadikan museum memorial [seperti sekarang ini] oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1976, bangunan ini sempat akan dipugar oleh Pertamina tapi usaha ini hanya sampai pada pembuatan bangunan sekolah untuk Sekolah Dasar Negeri Linggarjati.

Posting Komentar